Mohon tunggu...
Fahrijal Nurrohman
Fahrijal Nurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hey there! I am using Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sepeda Tua #Bagian 5

19 Juli 2021   07:00 Diperbarui: 19 Juli 2021   07:03 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh anak-anak", Pak Kyai memulai pelajaran hari itu.

            Sore itu, hujan kembali turun. Hawa menjadi terasa dingin, apalagi mushola yang dipakai untuk mengaji hanya berupa anyaman bambu hasil iuran warga desa setempat. Sebelum Pak Kyai menginjakkan kakinya di desa Dullah, desa Dullah adalah tempatnya para orang-orang jahat dan hanya membuat onar. Temasuk ayah Dullah dulu adalah seorang preman ternama. Kemudian datanglah Pak Kyai yang berniat untuk memperbaiki kondisi di desa Dullah. Nama asli Pak Kyai itu adalah Mustofa Kamil. Karena dakwah beliau yang mengedepankan nilai toleransi, beliau bisa dengan mudah diterima di desa tersebut.

            "Dullah, coba sampean sebutkan apa saja ciri-ciri orang yang munafik", Pak Kyai memberikan pertanyaan kepada Dullah.

            "Nggeh Pak Kyai. Ciri-ciri orang yang munafik wonten tigo, yaitu ketika berbicara dia berdusta, ketika dipercaya dia berkhianat, dan ketika berjanji dia mengingkari".

            "Nggeh leres. Jadi, sampean semua jangan sampai menjadi orang yang bermuka dua atau munafik nggeh. Karena orang yang munafik kelak akan mendapatkan siksa pedih di akhirat", Pak Kyai selalu memberikan pesan-pesan hikmah kepada anak-anak di setiap pengajian di mushola.

            Dan tidak terasa waktu bergulir begitu cepat. Pukul 5 sore, jam mengaji sudah selesai. Pak Kyai menutup pelajaran. Sebagian anak-anak sudah berlari menuju rumahnya masing-masing. Hanya beberapa saja yang masih di mushola sembari menunggu masuk waktu maghrib. Termasuk Dullah dan Asep.

            "Sep, awakmu pas wes gede kepengen dadi opo?", Dullah asal mencomot topik pembicaraan.

            "Hmmmm... Opo ya Dul. Aku dewe sek bingung karo uripku. Awakmu ngerti dewe aku ndak terlalu pinter, nilai yo pas-pasan. Mosok iyo bocah koyo aku iso dadi wong tenanan", jawab Asep sambil menatap langit yang mulai memerah.

            "Walaahh... kok ya podo ae koyo aku awakmu ki Sep. Hahaha. Tapi aku yakin awak dewe iso dadi wong sing sukses nek masa depan", jawab Dullah mantap.

            Pak Kyai yang mendengar percakapan mereka berdua memutuskan untuk ikut berbaur dengan dua bocah itu. Ditemani dengan ketela rebus dan seteko kopi yang dibawa ibu-ibu jamaah mushola, terjadilah percakapan hangat diantara mereka bertiga.

            "Dul... Sep..., awakmu tau krungu ceritone Qarun?" tanya Pak Kyai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun