Kebijakan Gubernur Jawa Barat KDM yang menempatkan siswa dengan perilaku menyimpang ke dalam barak militer menuai beragam tanggapan. Di satu sisi, kebijakan ini tampak tegas dan langsung memberikan kesan adanya tindakan nyata dari pemerintah daerah dalam merespons keresahan masyarakat terhadap meningkatnya kenakalan remaja dan kekerasan di sekolah. Namun, jika dianalisis secara mendalam, kebijakan ini lebih cenderung bersifat populis daripada berbasis pendekatan akademis atau pedagogis.
Sebagai kebijakan populis, langkah ini efektif secara optik memunculkan citra kepemimpinan yang berani, disiplin, dan cepat tanggap. Terlebih dalam iklim politik menjelang kontestasi nasional, langkah seperti ini berpotensi mendongkrak popularitas karena dianggap "berpihak pada moralitas generasi muda". Namun sayangnya, kebijakan populis sering kali mengabaikan landasan ilmiah, potensi dampak jangka panjang, serta tidak melalui konsultasi atau riset akademis yang memadai.
Sebaliknya, pendekatan akademis dalam menangani perilaku menyimpang pada anak menekankan pada rehabilitasi, pendidikan berbasis kasih sayang, dan upaya restoratif. Seperti pembahasan diatas, anak yang menunjukkan perilaku menyimpang seharusnya dihadapi melalui asesmen psikososial, keterlibatan keluarga, serta lingkungan belajar yang suportif. Penempatan anak ke dalam lingkungan yang keras seperti barak militer, apalagi tanpa asesmen komprehensif, justru berpotensi memperburuk kondisi mental dan menghilangkan aspek pembinaan yang berkelanjutan.
Kebijakan yang menyentuh kehidupan anak-anak dan masa depan pendidikan harus dipastikan bukan sekadar respons instan terhadap gejala sosial. Pengawasan oleh lembaga independen (seperti KPAI, Ombudsman, maupun lembaga pendidikan tinggi) perlu dilakukan untuk menilai apakah pendekatan militeristik benar-benar memberikan perubahan positif secara psikologis dan akademis bagi siswa.
Urgensi Pengawasan, Evaluasi, dan Keberlanjutan Program
Evaluasi program pun harus dilakukan secara periodik dan berdasarkan indikator yang jelas apakah terjadi penurunan angka kenakalan? Bagaimana kondisi psikologis siswa pasca-pelatihan? Apakah ada risiko traumatis? Tanpa evaluasi ini, program bisa saja berujung menjadi eksperimen sosial yang mengorbankan masa depan anak-anak.
Terakhir, keberlanjutan program harus menjadi prioritas. Jangan sampai program ini hanya bersifat sementara dan digunakan sebagai batu loncatan politik untuk meraih jabatan yang lebih tinggi. Bila Gubernur meninggalkan Jawa Barat sebelum program ini matang dan terukur, maka kebijakan ini berisiko menjadi warisan yang tidak tuntas menyisakan lebih banyak persoalan daripada penyelesaian.
Refleksi Akhir
Langkah yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat, KDM, dalam menangani siswa dengan perilaku menyimpang melalui penempatan di barak militer, patut diapresiasi sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam menjawab keresahan masyarakat. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak tinggal diam terhadap problematika sosial yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya kenakalan remaja dan kekerasan di sekolah.
Namun demikian, apresiasi ini harus dibarengi dengan sikap kritis. Kebijakan yang menyentuh kehidupan dan masa depan anak-anak memerlukan pengawasan yang ketat, evaluasi yang berkelanjutan, serta komitmen terhadap keberlanjutan program, agar tidak berhenti sebagai kebijakan sesaat yang hanya menciptakan eksposur politik. Tanpa ketiga aspek tersebut, kebijakan yang bertujuan mulia bisa kehilangan arah dan justru menimbulkan dampak yang tidak diharapkan.
Karenanya, langkah KDM bisa menjadi titik awal yang baik, asalkan disertai dengan keberanian untuk merefleksi, melibatkan pendekatan ilmiah, dan menjadikan anak bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek yang perlu dibina, dipahami, dan dilindungi.