Konsep Barak Militer
Barak militer secara historis merupakan tempat yang di desian untuk membentuk kedisiplinan, kepatuhan, dan ketangguhan fisik melalui sistem pelatihan yang keras, terstruktur dan hirarkis. Dalam konteks pembinaan siswa bermasalah, pendekatan ini diterjemahkan sebagai upaya pembentukan karakter melalui metode semi-militeristik, seperti pelatihan fisik, kegiatan baris-berbaris, dan aturan ketat harian yang menuntut kepatuhan penuh. Tujuannya adalah mengatasi kenakalan remaja dan perilaku menyimpang dengan menciptakan lingkungan yang "keras tapi membina". Kebijakan ini kerap digunakan sebagai bentuk shock therapy agar siswa menyadari kesalahannya dan kembali ke jalur yang dianggap benar oleh otoritas pendidikan. Namun, penerapan konsep barak militer terhadap anak usia sekolah menimbulkan pertanyaan besar, terutama jika ditinjau dari pendekatan pedagogis modern. Barak tidak dirancang untuk proses belajar yang memanusiakan, melainkan untuk menciptakan prajurit. Ketika model ini digunakan dalam dunia pendidikan, ada risiko bahwa karakter anak yang sedang dalam masa pencarian jati diri justru dipaksa untuk tunduk pada struktur yang tidak memberikan ruang refleksi, partisipasi, atau kasih sayang yang menjadi fondasi pendidikan yang sehat.
Konsep Pendidikan yang Baik
Dalam literatur akademik, konsep pendidikan yang baik senantiasa menempatkan anak sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran, bukan objek yang harus 'ditundukkan'. Menurut Piaget, Vygotsky, dan pendekatan konstruktivis lainnya, anak-anak belajar secara optimal ketika mereka diberi ruang untuk berpikir kritis, berekspresi, dan mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan yang baik juga bersifat inklusif, partisipatif, dan berorientasi pada pengembangan potensi individual, bukan sekadar penyeragaman perilaku.
Selain itu, pendidikan yang baik juga harus memenuhi prinsip safe, supportive, and empowering environment. Artinya, anak-anak harus merasa aman, didukung, dan diberdayakan dalam lingkungan belajarnya. Ketika pendekatan militeristik diterapkan, ada risiko anak justru merasa terancam, mengalami tekanan psikologis, dan akhirnya kehilangan motivasi belajar.
Konsep Cara Menangani Anak Nakal
Perilaku yang dianggap nakal seringkali merupakan manifestasi dari masalah yang lebih dalam, seperti gangguan emosi, trauma, kurangnya kasih sayang, atau pengaruh lingkungan sosial yang negatif. Oleh karena itu, pendekatan ilmiah dalam menangani mereka harus berangkat dari "pemahaman, bukan penghukuman".
Pendekatan pertama yang direkomendasikan dalam banyak literatur akademik adalah assesmen psikologis dan sosial. Anak perlu dipahami secara menyeluruh: latar belakang keluarga, kondisi emosi, riwayat pengalaman traumatis, hingga hubungan dengan teman sebaya. Dari sini, intervensi bisa disesuaikan dengan kebutuhan, bukan dipukul rata. Misalnya, anak yang agresif karena kekerasan di rumah akan membutuhkan pendekatan yang berbeda dari anak yang bolos karena merasa tidak dianggap di sekolah.
Selanjutnya, pendidikan restoratif (restorative education) menjadi pendekatan kunci. Konsep ini tidak hanya berfokus pada "apa yang salah", tapi juga bagaimana memperbaiki hubungan, membangun tanggung jawab, dan memulihkan harga diri anak. Â Selain itu, penguatan pendidikan karakter berbasis kasih sayang (compassion-based education) juga menjadi strategi utama. Guru dan pendidik harus dilatih untuk menjadi figur otoritas yang tetap hangat dan mendukung, bukan mengancam. Model relasi yang empatik dan terbuka memungkinkan anak merasa diterima meski melakukan kesalahan, dan dari situlah proses perubahan dimulai.
Terakhir, keterlibatan keluarga dan komunitas juga krusial. Anak tidak bisa diubah hanya melalui hukuman atau intervensi instan. Diperlukan pendekatan sistemik yang melibatkan sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial secara bersama-sama, menciptakan konsistensi nilai dan pola asuh yang sehat.
Menganalisis Jenis Kebijakan yang diambil oleh KDM
Kebijakan Gubernur Jawa Barat KDM yang menempatkan siswa dengan perilaku menyimpang ke dalam barak militer menuai beragam tanggapan. Di satu sisi, kebijakan ini tampak tegas dan langsung memberikan kesan adanya tindakan nyata dari pemerintah daerah dalam merespons keresahan masyarakat terhadap meningkatnya kenakalan remaja dan kekerasan di sekolah. Namun, jika dianalisis secara mendalam, kebijakan ini lebih cenderung bersifat populis daripada berbasis pendekatan akademis atau pedagogis.
Sebagai kebijakan populis, langkah ini efektif secara optik memunculkan citra kepemimpinan yang berani, disiplin, dan cepat tanggap. Terlebih dalam iklim politik menjelang kontestasi nasional, langkah seperti ini berpotensi mendongkrak popularitas karena dianggap "berpihak pada moralitas generasi muda". Namun sayangnya, kebijakan populis sering kali mengabaikan landasan ilmiah, potensi dampak jangka panjang, serta tidak melalui konsultasi atau riset akademis yang memadai.
Sebaliknya, pendekatan akademis dalam menangani perilaku menyimpang pada anak menekankan pada rehabilitasi, pendidikan berbasis kasih sayang, dan upaya restoratif. Seperti pembahasan diatas, anak yang menunjukkan perilaku menyimpang seharusnya dihadapi melalui asesmen psikososial, keterlibatan keluarga, serta lingkungan belajar yang suportif. Penempatan anak ke dalam lingkungan yang keras seperti barak militer, apalagi tanpa asesmen komprehensif, justru berpotensi memperburuk kondisi mental dan menghilangkan aspek pembinaan yang berkelanjutan.
Kebijakan yang menyentuh kehidupan anak-anak dan masa depan pendidikan harus dipastikan bukan sekadar respons instan terhadap gejala sosial. Pengawasan oleh lembaga independen (seperti KPAI, Ombudsman, maupun lembaga pendidikan tinggi) perlu dilakukan untuk menilai apakah pendekatan militeristik benar-benar memberikan perubahan positif secara psikologis dan akademis bagi siswa.
Urgensi Pengawasan, Evaluasi, dan Keberlanjutan Program
Evaluasi program pun harus dilakukan secara periodik dan berdasarkan indikator yang jelas apakah terjadi penurunan angka kenakalan? Bagaimana kondisi psikologis siswa pasca-pelatihan? Apakah ada risiko traumatis? Tanpa evaluasi ini, program bisa saja berujung menjadi eksperimen sosial yang mengorbankan masa depan anak-anak.
Terakhir, keberlanjutan program harus menjadi prioritas. Jangan sampai program ini hanya bersifat sementara dan digunakan sebagai batu loncatan politik untuk meraih jabatan yang lebih tinggi. Bila Gubernur meninggalkan Jawa Barat sebelum program ini matang dan terukur, maka kebijakan ini berisiko menjadi warisan yang tidak tuntas menyisakan lebih banyak persoalan daripada penyelesaian.
Refleksi Akhir
Langkah yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat, KDM, dalam menangani siswa dengan perilaku menyimpang melalui penempatan di barak militer, patut diapresiasi sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam menjawab keresahan masyarakat. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak tinggal diam terhadap problematika sosial yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya kenakalan remaja dan kekerasan di sekolah.
Namun demikian, apresiasi ini harus dibarengi dengan sikap kritis. Kebijakan yang menyentuh kehidupan dan masa depan anak-anak memerlukan pengawasan yang ketat, evaluasi yang berkelanjutan, serta komitmen terhadap keberlanjutan program, agar tidak berhenti sebagai kebijakan sesaat yang hanya menciptakan eksposur politik. Tanpa ketiga aspek tersebut, kebijakan yang bertujuan mulia bisa kehilangan arah dan justru menimbulkan dampak yang tidak diharapkan.
Karenanya, langkah KDM bisa menjadi titik awal yang baik, asalkan disertai dengan keberanian untuk merefleksi, melibatkan pendekatan ilmiah, dan menjadikan anak bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek yang perlu dibina, dipahami, dan dilindungi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI