Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) ke-80 di New York tahun ini menjadi panggung penting bagi para pemimpin dunia untuk menegaskan posisi moral dan politik negaranya di tengah ketegangan global, termasuk tragedi kemanusiaan di Gaza. Dua di antara pidato yang mencuri perhatian datang dari Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dan Menteri Luar Negeri Thailand Sihasak Phuangketkeow, yang sama-sama menyerukan perdamaian namun berangkat dari landasan politik dan visi diplomasi yang berbeda.
Australia menempatkan dirinya dalam kerangka demokrasi liberal dan tatanan dunia berbasis aturan (rules-based international order), sedangkan Thailand menonjolkan multilateralisme, solidaritas kemanusiaan, dan peran regional ASEAN. Perbedaan tersebut mencerminkan karakter kebijakan luar negeri dua negara menengah di Asia-Pasifik yang sama-sama berupaya memainkan peran moral di tengah sistem internasional yang semakin terpolarisasi.
Dalam pidatonya, Anthony Albanese menegaskan komitmen Australia terhadap prinsip demokrasi, perdamaian, dan supremasi hukum internasional. Ia mengawali pernyataannya dengan ajakan kepada dunia untuk “bekerja bersama membangun perdamaian sejati, bukan sekadar menahan perang.” Albanese menekankan bahwa Australia akan terus memperkuat diplomasi, pertahanan, dan kemitraan strategis di kawasan Indo-Pasifik, terutama menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, ketegangan geopolitik, dan konflik bersenjata. Ia juga menyoroti perang di Ukraina dan situasi kemanusiaan di Gaza sebagai ujian bagi sistem internasional.
Terkait Gaza, Albanese menyampaikan bahwa Australia menyerukan gencatan senjata, pembebasan segera para sandera, dan penyaluran bantuan kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan. Namun, menurutnya, para teroris Hamas tidak boleh memiliki peran dalam masa depan Gaza. Pernyataan tersebut menggambarkan posisi hati-hati Australia: menolak kekerasan dan mendukung upaya kemanusiaan, namun tetap selaras dengan kebijakan sekutunya, terutama Amerika Serikat dan Inggris.
Di sisi lain, beberapa negara Eropa seperti Prancis, Inggris, dan Spanyol, telah mengambil langkah dengan mengakui negara Palestina dengan Two State Solution, meski dalam bentuk simbolik atau terbatas. Pengakuan ini menunjukkan bahwa komunitas internasional memiliki spektrum kebijakan yang berbeda terkait konflik Israel-Palestina, dari posisi berhati-hati dan koalisi pro-Barat seperti Australia, hingga posisi yang lebih menekankan legitimasi politik Palestina. Perbedaan sikap ini menegaskan kompleksitas diplomasi global dan tantangan bagi negara-negara menengah dalam menyeimbangkan nilai kemanusiaan, keamanan, dan aliansi strategis.
Pidato Albanese ini memperlihatkan wajah khas middle power diplomacy: tidak konfrontatif seperti negara besar, namun cukup tegas dalam menegaskan nilai-nilai universal. Dalam kasus Gaza, Australia berusaha menyeimbangkan antara tekanan moral publik internasional dan kepentingan strategisnya sebagai sekutu dekat Amerika Serikat.
Berbeda dengan nada politik Australia, pidato Menteri Luar Negeri Thailand Sihasak Phuangketkeow tampil lebih reflektif dan berorientasi pada kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa dunia kini berada di “persimpangan sejarah” dan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa tetap menjadi wadah penting untuk menghadapi krisis global bersama. “Tidak diragukan lagi dunia masih membutuhkan PBB, dan PBB membutuhkan kita semua,” ujarnya dengan nada optimistis, sembari menekankan pentingnya kerja sama dan solidaritas antarnegara.
Sihasak menyoroti komitmen Thailand terhadap multilateralisme, kerja sama regional, dan peran masyarakat global yang inklusif. Ia menegaskan pentingnya kesetaraan, partisipasi perempuan dalam perdamaian, serta penguatan hak asasi manusia. Saat menyinggung konflik di Gaza, Sihasak menyatakan bahwa penderitaan warga sipil, terutama anak-anak, menjadi pengingat pahit bagi nurani kolektif dunia. Tanpa menyebut Israel maupun Hamas secara langsung, Thailand menempatkan isu Gaza sebagai tragedi kemanusiaan yang harus diselesaikan melalui dialog dan kerja sama internasional.
Selain menyoroti isu global, Sihasak juga membahas tantangan kawasan seperti konflik di Myanmar dan ketegangan perbatasan dengan Kamboja, dengan menegaskan bahwa Thailand tetap memilih jalan damai dan diplomasi. Ia turut menonjolkan keberhasilan kebijakan domestik seperti Universal Health Coverage, pemberdayaan perempuan, dan pembangunan berkelanjutan berdasarkan filosofi “ekonomi kecukupan”. Pidato ini memperlihatkan bahwa Thailand mengedepankan diplomasi berbasis nilai kesejahteraan dan kemanusiaan untuk memperkuat soft power-nya di dunia internasional.
Jika dilihat, perbandingan kedua pidato ini menunjukkan dua corak pendekatan terhadap konsep kekuasaan dan demokrasi. Australia, dengan sistem politik demokrasi liberal dan aliansi kuat dengan negara-negara Barat, menampilkan demokrasi sebagai nilai normatif sekaligus alat kekuasaan. Dalam hal ini, demokrasi digunakan untuk melegitimasi posisi politik luar negerinya, terutama dalam membela tatanan berbasis aturan yang mendukung struktur kekuasaan global saat ini.
Sementara itu, Thailand menampilkan demokrasi sebagai praktik partisipatif dan kemanusiaan kolektif. Demokrasi di sini bukan tentang proyeksi kekuatan, melainkan tentang kolaborasi dan solidaritas lintas batas. Dengan menolak politik blok dan retorika konfrontatif, Thailand berusaha menjadi bridge builder, jembatan antara dunia berkembang dan negara maju, antara moralitas dan pragmatisme politik.
Dalam konteks kekuasaan, Australia menggabungkan hard dan soft power — kekuatan militer, diplomasi, serta nilai demokrasi — untuk mempertahankan posisinya dalam struktur global. Thailand lebih mengandalkan soft power yang bersumber dari nilai-nilai Asia Tenggara: konsensus, keharmonisan, dan kemanusiaan. Kedua pendekatan ini menggambarkan bahwa demokrasi tidak tunggal. Bagi Australia, demokrasi adalah dasar untuk menegakkan tatanan dunia yang adil dan stabil (meski dalam kerangka kekuasaan global yang asimetris). Bagi Thailand, demokrasi adalah upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial di tingkat manusia, bukan sekadar negara.
Pidato Albanese dan Sihasak menunjukkan bahwa negara-negara menengah di Asia-Pasifik tengah mencari posisi moral di tengah sistem internasional yang penuh ketegangan. Australia berbicara dengan bahasa kekuasaan yang dibalut moralitas demokratis; Thailand berbicara dengan bahasa kemanusiaan yang berakar pada solidaritas dan kerja sama. Dalam isu Gaza, Australia memilih posisi politik yang berhati-hati namun pro-Barat, sementara Thailand memilih posisi moral yang netral dan humanistik. Keduanya menyerukan perdamaian, namun dengan makna yang berbeda: bagi Australia, perdamaian adalah hasil dari ketertiban global; bagi Thailand, perdamaian adalah hasil dari empati dan dialog.
Kedua negara juga menunjukkan bahwa dalam dunia yang semakin multipolar, kekuasaan tidak lagi hanya diukur dari kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga dari kemampuan memengaruhi opini moral dan membangun solidaritas internasional. Sebagaimana diingatkan Sihasak dalam penutup pidatonya, “Kita berkumpul di sini bukan hanya untuk merayakan apa yang telah dicapai, tetapi untuk melihat ke depan — membangun masa depan bersama yang lebih baik. Dunia terkuat adalah dunia yang berdiri sebagai satu komunitas, terikat oleh satu dedikasi, dan bersatu dalam satu tujuan untuk semua.”
Dua pidato tersebut memperlihatkan dinamika baru dalam politik global, demokrasi dan kekuasaan kini dipraktikkan dalam banyak wajah. Australia menggunakan demokrasi untuk mempertahankan tatanan internasional dan aliansi globalnya; Thailand menggunakannya untuk memperkuat solidaritas dan kemanusiaan lintas bangsa. Dalam konteks tragedi Gaza, keduanya menyampaikan pesan penting bahwa kekuasaan harus diimbangi dengan nilai, dan demokrasi tanpa kepedulian kemanusiaan hanyalah retorika kosong.
Di tengah dunia yang semakin terbelah oleh perang, ekonomi, dan politik identitas, pidato Albanese dan Sihasak menjadi cermin bahwa peran negara menengah tidak hanya sebagai pengikut kekuatan besar, tetapi juga sebagai penjaga moral dan penyalur suara nurani global. Dan mungkin, di antara kepentingan dan idealisme itu, terletak harapan terakhir bagi dunia yang benar-benar damai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI