Mohon tunggu...
Fahmi FathurRahman
Fahmi FathurRahman Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Indonesia

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pidato Australia dan Thailand: Seruan Perdamaian di Sidang Umum PBB

14 Oktober 2025   02:52 Diperbarui: 14 Oktober 2025   09:43 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: UN General Assembly (UNGA)

Selain menyoroti isu global, Sihasak juga membahas tantangan kawasan seperti konflik di Myanmar dan ketegangan perbatasan dengan Kamboja, dengan menegaskan bahwa Thailand tetap memilih jalan damai dan diplomasi. Ia turut menonjolkan keberhasilan kebijakan domestik seperti Universal Health Coverage, pemberdayaan perempuan, dan pembangunan berkelanjutan berdasarkan filosofi “ekonomi kecukupan”. Pidato ini memperlihatkan bahwa Thailand mengedepankan diplomasi berbasis nilai kesejahteraan dan kemanusiaan untuk memperkuat soft power-nya di dunia internasional.

Jika dilihat, perbandingan kedua pidato ini menunjukkan dua corak pendekatan terhadap konsep kekuasaan dan demokrasi. Australia, dengan sistem politik demokrasi liberal dan aliansi kuat dengan negara-negara Barat, menampilkan demokrasi sebagai nilai normatif sekaligus alat kekuasaan. Dalam hal ini, demokrasi digunakan untuk melegitimasi posisi politik luar negerinya, terutama dalam membela tatanan berbasis aturan yang mendukung struktur kekuasaan global saat ini.

Sementara itu, Thailand menampilkan demokrasi sebagai praktik partisipatif dan kemanusiaan kolektif. Demokrasi di sini bukan tentang proyeksi kekuatan, melainkan tentang kolaborasi dan solidaritas lintas batas. Dengan menolak politik blok dan retorika konfrontatif, Thailand berusaha menjadi bridge builder, jembatan antara dunia berkembang dan negara maju, antara moralitas dan pragmatisme politik.

Dalam konteks kekuasaan, Australia menggabungkan hard dan soft power — kekuatan militer, diplomasi, serta nilai demokrasi — untuk mempertahankan posisinya dalam struktur global. Thailand lebih mengandalkan soft power yang bersumber dari nilai-nilai Asia Tenggara: konsensus, keharmonisan, dan kemanusiaan. Kedua pendekatan ini menggambarkan bahwa demokrasi tidak tunggal. Bagi Australia, demokrasi adalah dasar untuk menegakkan tatanan dunia yang adil dan stabil (meski dalam kerangka kekuasaan global yang asimetris). Bagi Thailand, demokrasi adalah upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial di tingkat manusia, bukan sekadar negara.

Pidato Albanese dan Sihasak menunjukkan bahwa negara-negara menengah di Asia-Pasifik tengah mencari posisi moral di tengah sistem internasional yang penuh ketegangan. Australia berbicara dengan bahasa kekuasaan yang dibalut moralitas demokratis; Thailand berbicara dengan bahasa kemanusiaan yang berakar pada solidaritas dan kerja sama. Dalam isu Gaza, Australia memilih posisi politik yang berhati-hati namun pro-Barat, sementara Thailand memilih posisi moral yang netral dan humanistik. Keduanya menyerukan perdamaian, namun dengan makna yang berbeda: bagi Australia, perdamaian adalah hasil dari ketertiban global; bagi Thailand, perdamaian adalah hasil dari empati dan dialog.

Kedua negara juga menunjukkan bahwa dalam dunia yang semakin multipolar, kekuasaan tidak lagi hanya diukur dari kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga dari kemampuan memengaruhi opini moral dan membangun solidaritas internasional. Sebagaimana diingatkan Sihasak dalam penutup pidatonya, “Kita berkumpul di sini bukan hanya untuk merayakan apa yang telah dicapai, tetapi untuk melihat ke depan — membangun masa depan bersama yang lebih baik. Dunia terkuat adalah dunia yang berdiri sebagai satu komunitas, terikat oleh satu dedikasi, dan bersatu dalam satu tujuan untuk semua.”

Dua pidato tersebut memperlihatkan dinamika baru dalam politik global, demokrasi dan kekuasaan kini dipraktikkan dalam banyak wajah. Australia menggunakan demokrasi untuk mempertahankan tatanan internasional dan aliansi globalnya; Thailand menggunakannya untuk memperkuat solidaritas dan kemanusiaan lintas bangsa. Dalam konteks tragedi Gaza, keduanya menyampaikan pesan penting bahwa kekuasaan harus diimbangi dengan nilai, dan demokrasi tanpa kepedulian kemanusiaan hanyalah retorika kosong.

Di tengah dunia yang semakin terbelah oleh perang, ekonomi, dan politik identitas, pidato Albanese dan Sihasak menjadi cermin bahwa peran negara menengah tidak hanya sebagai pengikut kekuatan besar, tetapi juga sebagai penjaga moral dan penyalur suara nurani global. Dan mungkin, di antara kepentingan dan idealisme itu, terletak harapan terakhir bagi dunia yang benar-benar damai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun