Mohon tunggu...
Fahmi FathurRahman
Fahmi FathurRahman Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Indonesia

Mahasiswa aktif jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Fleksibel Tapi Tereksploitasi: Realita Pahit Jam Kerja Driver Ojol

16 Juni 2025   19:08 Diperbarui: 16 Juni 2025   19:08 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Driver ojol di ibukota (Sumber: usmtv.id)

Jumlah pengangguran di Indonesia terus meningkat, terutama sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai mempermudah proses pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil dan semakin sempitnya akses ke pekerjaan formal, banyak masyarakat akhirnya beralih ke sektor informal. Dalam beberapa tahun terakhir, pekerjaan berbasis aplikasi digital ini semakin populer, terutama di kota-kota besar. Dari memesan makanan, transportasi, hingga jasa antar barang, semua tersedia dalam satu sentuhan layar. Di balik kemudahan itu, muncul jenis pekerjaan baru yang dianggap fleksibel, modern, dan bebas dari rutinitas kantor. Berdalih janji untuk bisa "kerja kapan saja, sesuka hati" membuat banyak orang tergiur. Namun, pekerjaan ini sering kali hanya tampak bebas di permukaan. Di balik narasi fleksibilitas tersebut, tersimpan dinamika kerja yang penuh tekanan dan kerentanan struktural yang jarang terlihat.

Selaras dengan realita ini, konsep gig economy muncul sebagai sistem kerja berbasis tugas jangka pendek yang difasilitasi oleh platform digital. Dalam sistem ini, pekerja tidak memiliki status sebagai karyawan tetap, melainkan dianggap sebagai mitra usaha, tanpa akses terhadap jaminan sosial, cuti, atau perlindungan ketenagakerjaan formal. Karakteristik utamanya meliputi fleksibilitas waktu kerja, tidak adanya hubungan kerja langsung, dan ketergantungan pada algoritma serta sistem insentif digital yang ditentukan sepihak oleh perusahaan platform. Di balik fleksibilitas tersebut, sistem ini justru memperkuat kerentanan karena tidak diatur oleh regulasi ketenagakerjaan konvensional.

Salah satu contoh paling nyata dari model ini adalah para pengemudi ojol. Secara teknis, mereka bebas memilih kapan akan mulai bekerja, berapa lama bekerja, dan di mana akan beroperasi. Namun kenyataannya, banyak dari mereka harus bekerja lebih dari delapan jam bahkan sampai dua belas jam per hari untuk bisa membawa pulang pendapatan yang cukup. Ketika target tidak tercapai, penghasilan bersih bisa sangat minim. Dalam kondisi ini, fleksibilitas justru menjadi alat penekan, bukan kebebasan. Fenomena ini dikenal sebagai flexploitation. Istilah flexploitation sendiri adalah gabungan dari kata "fleksibilitas" dan "eksploitasi." Konsep ini digunakan untuk menjelaskan situasi ketika fleksibilitas dalam kerja justru dimanfaatkan untuk mengeksploitasi pekerja. Sistem kerja seperti ini biasanya bersifat tidak tetap, tidak teratur, dan penuh ketidakpastian. Akibatnya, para pekerja berada dalam kondisi yang rentan, karena harus terus bekerja tanpa jaminan atau perlindungan yang layak.


Alih-alih menjadi pilihan waktu kerja yang longgar, fleksibilitas ini menutupi fakta bahwa tidak ada batas waktu kerja yang jelas. Para driver "terpaksa fleksibel" karena mereka harus selalu siap untuk narik (bekerja) pagi, siang, hingga malam karena sistem platform hanya memberi imbalan lebih jika mereka mencapai target tertentu. Tidak ada sistem upah minimum, tidak ada jaminan jam kerja yang manusiawi, dan tidak ada perlindungan saat kelelahan atau sakit. Mereka bekerja dalam tekanan untuk selalu menjaga performa akunnya yang membuat driver harus bekerja belasan jam per hari agar bisa mencapai target harian/mingguan demi insentif. Hal tersebut juga mempengaruhi algoritma yang menentukan seberapa banyak mereka bisa mendapat order, dan berapa banyak yang akan mereka terima.


Salah satu aspek penting yang memperkuat tekanan kerja pada driver ojol adalah sistem bonus. Bonus ini tidak sekadar insentif tambahan, tapi juga bagian dari strategi gamifikasi yang diterapkan oleh platform. Gamifikasi adalah cara platform mengubah sistem kerja menjadi seperti permainan, agar terasa menyenangkan dan membuat pekerja lebih termotivasi. Dalam praktiknya, ini diwujudkan lewat elemen-elemen seperti poin, peringkat, lencana, serta target harian atau mingguan yang harus dicapai. Sekilas, sistem ini tampak seperti dorongan positif. Namun pada kenyataannya, gamifikasi justru menciptakan tekanan tersendiri. Driver merasa harus terus aktif agar performa akun tetap tinggi, rating tidak turun, dan bonus tetap bisa diraih. Mereka terdorong untuk terus bekerja, bukan karena fleksibilitas, tetapi karena takut kehilangan skor baik atau dikenai penalti algoritma. Misalnya, di beberapa platform, jika driver membatalkan order lebih dari dua kali, mereka bisa terkena suspend hingga beberapa hari. Skema bonus sendiri bervariasi, tetapi intinya sama: semakin banyak order yang diselesaikan, semakin besar insentif yang diterima. Masalahnya, target yang ditetapkan sering kali sulit dicapai tanpa bekerja dalam jam yang sangat panjang. Akibatnya, driver harus terus berada di jalan demi mengejar bonus yang pada akhirnya menjadi sumber utama pendapatan. Di titik ini, sistem bonus bukan lagi motivasi, tapi bentuk eksploitasi yang menyamar dalam balutan permainan digital.


Wawancara dengan sejumlah driver dalam jaringan komunitas SERDADU (Serikat Pengemudi Roda Dua) menguatkan temuan ini. Mereka mengaku mengalami tekanan psikologis karena algoritma platform yang memberi sanksi diam-diam. Misalnya, jika terlalu sering menolak order, akun mereka bisa dianggap tidak aktif, yang kemudian berdampak pada turunnya frekuensi order masuk. Ancaman seperti "kalau kamu matikan aplikasi, performa bisa turun" membuat para driver merasa harus terus bekerja meski kondisi tidak memungkinkan. Ini adalah bentuk kontrol tak kasat mata yang membuat para pengemudi tetap "on" di jalan, bahkan dalam kondisi kelelahan atau sakit.


Masalah bertambah ketika jumlah driver terus meningkat, sementara jumlah order tidak bertambah seimbang. Setelah UU Cipta Kerja disahkan, gelombang PHK membuat lebih banyak orang masuk ke dunia ojol, karena pekerjaan ini dianggap jalan keluar cepat dari pengangguran. Pihak aplikator pun juga tidak membatasi pendaftaran driver baru, menyebabkan kompetisi yang tidak sehat. Dalam kondisi ini, semakin banyak orang bekerja lebih lama hanya untuk mendapatkan hasil yang semakin sedikit. Beberapa driver menyebut bahwa pendapatan mereka kini harus dibagi dengan lebih banyak orang, tarif dasar yang rendah, sementara ongkos operasional seperti bensin dan servis kendaraan tetap tinggi.

Di sisi lain, status "mitra" membuat pengemudi ojol tidak memiliki hubungan kerja formal dengan aplikator. Mereka tidak bisa menuntut hak dasar mereka sebagai pekerja seperti BPJS, cuti sakit, atau kejelasan kontrak. Tidak ada jaminan jika suatu saat akun mereka dinonaktifkan sepihak. Segala risiko dalam pekerjaan ditanggung sendiri oleh driver, mulai dari sakit, kecelakaan di jalan, hingga kehilangan akun karena sanksi yang diputuskan sepihak oleh sistem. Meskipun beberapa platform memiliki skema jaminan kecelakaan, proses klaimnya sering kali rumit dan tidak mudah diakses. Advokasi terhadap ketidakadilan pun sulit dilakukan karena secara hukum, hubungan industrial antara driver dan aplikator tidak diakui. Bahkan ketika ada pertemuan antara perwakilan driver dan kementerian, belum ada kemajuan signifikan terkait perlindungan kerja atau batas jam kerja.


Ironisnya, banyak driver yang tidak menyadari bahwa mereka tengah berada dalam sistem kerja eksploitatif. Bonus sering mereka anggap sebagai peluang, bukan tekanan. Sistem "kerja keras = uang banyak" masih dipercaya, padahal nyatanya sistem inilah yang mendorong mereka untuk terus bekerja tanpa batas waktu, tanpa perlindungan, dan tanpa posisi tawar. Banyak dari mereka mengira ini pilihan bebas, padahal sesungguhnya mereka dikendalikan oleh sistem yang tidak transparan dan tidak adil. Ini adalah bentuk nyata dari eksploitasi yang dibungkus fleksibilitas alias flexploitation.


Sudah saatnya narasi tentang fleksibilitas dibongkar. Fleksibilitas yang tidak disertai perlindungan hanyalah cara baru untuk mengeksploitasi pekerja, Jika negara tidak hadir dengan regulasi yang adil, transparan, dan berpihak pada pekerja, maka gig economy hanya akan menjadi sistem yang memperluas ketimpangan dan melanggengkan pekerjaan yang eksploitatif. Kita perlu memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak menjadi dalih untuk mengabaikan hak-hak pekerja. Karena sebesar apa pun janji fleksibilitas, setiap orang tetap berhak atas pekerjaan yang adil dan layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun