Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pelras dan Serangan Brutalnya pada Kesejarahan Bugis dan Perahu Phinisi

29 November 2020   14:13 Diperbarui: 30 November 2020   17:18 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Photo by. Fadly Bahari)

Saya pikir, mengatakan aktivitas maritim orang Bugis baru benar-benar berkembang pada abad ke-18 Masehi, yang sementara dalam buku "The History of Java" yang ditulis Raffles pada tahun 1817 (awal abad ke 19), tergambar bagaimana telah mapannya sistem perdagangan dan pelayaran lintas benua orang-orang Bugis - hal yang bisa dikatakan membutuhkan hingga ratusan tahun untuk dapat terbentuk secara mapan seperti itu. 

Dengan demikian, ini jelas menunjukkan kurangnya kedalaman analisa Pelras. Bagaimana pun juga, kemampuan navigasi dan berbagai hal terkait pelayaran bukanlah sesuatu yang dapat dikuasai secara instant, setidaknya di masa itu yang belum ada sekolah khusus pelayaran seperti masa sekarang ini. Di masa itu, kemampuan melaut adalah kemampuan yang diturunkan secara alami dari orang tua ke anak-anaknya.

Sebagai contoh kasus, dapat kita lihat pada kisah tentang Nabi Sulaiman yang meminta orang-orang Phoenicia untuk membantunya membangun sebuah armada laut dan mengajarkan orang-orangnya menguasai teknik pelayaran. 

Kerjasama itu berhasil. Namun, pada akhirnya, ketika masa Nabi Sulaiman berakhir dan hubungan kerjasama pelayaran tidak lagi berlangsung dengan orang-orang Phoenicia, maka berakhir pula-lah sejarah pelayaran bangsa Ibrani.

Antropolog Gene Ammarell (direktur Southeast Asia Studies di Ohio University) dalam bukunya "Navigasi Bugis" mengatakan bahwa: tradisi melaut orang Bugis mungkin yang terbesar di dunia, aktor utama diaspora Austronesia. Gene Ammarell juga mengatakan bahwa capaian navigasi tersebut merentang setidaknya sejak 5 milenium lalu dan melingkupi dua per tiga bumi, sebelum perahu-perahu Eropa berlayar melampaui Samudera Atlantik. [Gene Ammarell, Navigasi Bugis, Makassar, Ininnawa, 2014; 2016, hlm. xiii]

Tidak ketinggalan Yuval Noah Harari mengungkap pula hal yang senada dalam buku "sapiens": 

Teori yang paling masuk akal mengajukan bahwa sekitar 45.000 tahun lalu, Sapiens yang hidup di Nusantara (sekelompok pulau yang terpisah dari Asia dan dari satu sama lain hanya oleh selat-selat sempit) mengembangkan masyarakat-masyarakat pelaut pertama. Mereka belajar bagaimana membangun dan mengendalikan perahu untuk mengarungi laut lalu menjadi nelayan, saudagar, dan penjelajah jarak jauh. [Yuval Noah Harari. Sapiens, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2017: hlm. 77]

Saya cenderung melihat bahwa apa yang diungkap Pelras tersebut di atas ada kemiripan dengan kasus Kontroversial terkait situs arkeologi Sriwijaya yang terjadi di tahun 1974 hingga beberapa tahun kemudian, yang diulas Pierre-Yves Manguin dalam tulisannya "Palembang dan Sriwijaya, Hipotesis Lama Penelitian Baru"  yang terlampir dalam buku Kedatuan Sriwijaya -Seri Terjemahan Arkeologi No. 11- bahwa terjadi apa yang disebut Pierre-Yves Manguin sebagai "serangan yang paling parah"- yang datang dari sisi arkeologi lapangan pada tahun 1974. 

Berikut kutipannya:

"Sebuah kerjasama gabungan antara University of Pennsylvania Museum dan Dinas Purbakala Indonesia, setelah tiga bulan penggalian di Palembang dan sekitarnya, membawa Bennet Bronson, kepala tim Amerika, pada kesimpulan-kesimpulan radikal atas persoalan itu, yang kemudian disebarkan secara luas: dalam hal apa pun, situs-situs Palembang tidak membuktikan keberadaan situs kota yang penting sebelum abad XIV atau abad XV; seluruh arca dan prasasti dari millennium pertama Masehi yang datang dari situs-situs tersebut hanyalah hasil "peletakan kembali" secara sistematis dan besar-besaran oleh sebuah Negara yang berdiri di kemudian hari dan yang berkeinginan untuk memperkuat kekuasaannya sendiri atas kawasan ini dengan memakai atribut-atribut dari luar kekuasaannya..." [Pierre-Yves Manguin. "Palembang dan Sriwijaya, Hipotesis Lama, Penelitian Baru (Palembang Barat)" dalam buku "Kedatuan Sriwijaya - Seri Terjemahan Arkeologi No. 11",  hlm. 202]

Dari sudut pandang tertentu, Statement semacam ini tentu saja bisa dilihat sebagai sesuatu hal yang sangat merugikan bagi catatan kesejarahan suatu bangsa. 

Beruntung bagi Palembang/ Sriwijaya bahwa segera pada tahun 1979 ada tim yang ke Palembang untuk melakukan survey yang dikepalai Satyawati Suleiman dan O. W. Wolters, yang berhasil menetralisir keadaan tersebut.

Namun apa pun itu, dugaan terbaik yang bisa saya munculkan Terkait uraian Pelras di atas, adalah bahwa mungkin pernyataan itu didasari oleh pemahaman kelirunya yang membedakan antara orang Bugis dan orang Bajo, bahwa keahlian pelayaran adalah milik orang Bajo, sedangkan orang Bugis hanyalah seorang petani saja. 

Mengenai kesamaan orang Bugis dan orang Bajo, serta seperti apa eksistensi mereka dalam pelayaran dan perniagaan di masa kuno, silakan baca pembahasannya dalam artikel ini: Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun