Pemahaman mengenai dampak ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi orang tua, pendidik, maupun pihak lain dalam menentukan pendekatan pengasuhan yang paling sehat dan efektif bagi tumbuh kembang anak. Pola asuh otoriter menurut kami punya sisi baik dan buruk. Di satu sisi, anak bisa jadi lebih sopan dan patuh, apalagi kalau diterapkan dengan kasih sayang sejak dini. Tapi di sisi lain, anak sering tumbuh jadi pribadi yang cemas, minder, dan takut menyampaikan pendapat. Secara umum, mereka tumbuh jadi pribadi yang pendiam, tidak percaya diri, dan emosional lebih patuh karena takut, bukan karena benar-benar paham. Sebaliknya pada pola pengasuhan otoritatif memberikan dampak positif yang besar terhadap perkembangan anak. Anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri, dan bertanggung jawab. Mereka mampu mengambil keputusan, mengelola stres, serta mengembangkan potensi sesuai minatnya.
Strategi pengasuhan otoritatif jauh lebih efektif dibandingkan otoriter karena menyeimbangkan antara tuntutan dan responsivitas, serta mengutamakan komunikasi dua arah yang sehat. Diana Baumrind (1967) menyebut bahwa pola otoritatif mendorong anak untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sementara pola otoriter menuntut kepatuhan penuh tanpa ruang diskusi. Judith G. Smetana (2017) juga menekankan bahwa pengasuhan otoritatif bersifat fleksibel dan menyesuaikan dengan kebutuhan anak, sedangkan otoriter lebih menekankan kontrol ketat dan cenderung berdampak negatif secara emosional. John W. Santrock (2011) menyebut bahwa anak dari pola otoritatif cenderung ceria, mandiri, dan mampu mengendalikan diri, sementara anak dari pola otoriter justru sering merasa takut, cemas, dan memiliki hubungan sosial yang buruk.
Terdapat kasus yang sering kita jumpai dimana anak dengan mudah dan tega melampiaskan kemarahan kepada orang tua yang disebabkan sering memendam emosi. Kasus ini menunjukkan bahwa pola asuh yang keliru, terutama pola otoriter dan kekerasan dalam keluarga, dapat memengaruhi perkembangan emosional dan perilaku anak secara ekstrem. Menurut penelitian yang dilakukan oleh psikolog anak Diana Baumrind, pola asuh otoriter cenderung menciptakan anak yang pendiam, tidak percaya diri, dan emosional, serta sulit mengelola amarah yang berlebihan. Jika diperparah dengan kekerasan atau tekanan yang berlebihan, bisa memicu anak untuk melakukan tindakan agresif dan berbuat di luar batas norma sosial. Dalam konteks kasus ini, pengabaian terhadap kebutuhan emosional dan komunikasi yang kurang sehat dari orang tua turut andil dalam membentuk karakter anak yang keras dan tidak mampu mengelola emosi secara positif.
Peran konselor (guru BK) sangat penting dalam memberikan edukasi kepada siswa dan keluarga mengenai pola asuh yang tepat serta menumbuhkan kesadaran akan bahaya pola otoriter dan kekerasan. Konselor perlu memberikan dukungan emosional kepada anak dan orang tua agar tercipta komunikasi yang sehat dan terbuka. Selain itu, sekolah dapat menjadi jembatan dalam membangun lingkungan keluarga yang lebih mendukung dan mengedukasi orang tua tentang pentingnya pengasuhan yang penuh kasih sayang dan komunikasi dua arah. Dengan demikian, diharapkan kasus serupa tidak terulang kembali dan anak-anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung perkembangan emosional serta sosial mereka secara optimal.
Disimpulkan bahwa pola asuh orang tua, khususnya otoritatif dan otoriter, memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter, perilaku, serta perkembangan emosional dan sosial anak. Pola asuh otoritatif dinilai lebih efektif karena mampu menyeimbangkan antara tuntutan dan dukungan terhadap anak, serta membuka ruang komunikasi dua arah yang sehat. Sementara itu, pola asuh otoriter cenderung menciptakan tekanan emosional pada anak karena minimnya ruang berekspresi dan dominasi kontrol dari orang tua. Dalam konteks Bimbingan dan Konseling, pemahaman terhadap pola asuh ini menjadi penting karena dapat membantu guru BK dalam memberikan layanan yang tepat bagi siswa, terutama dalam menangani permasalahan yang berkaitan dengan perilaku, emosi, dan hubungan sosial.
Temukan artikel-artikel lainnya di :Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI