Mohon tunggu...
Fadhli Harahab
Fadhli Harahab Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

Tertarik di bidang sospol, agama dan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ramadan dan Ilustrasi Mudik Spiritual

10 Mei 2020   06:42 Diperbarui: 10 Mei 2020   07:00 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Mudik (Mantas Hesthaven on Unsplash)

Tradisi mudik yang kerap digelar jelang perayaan hari raya idul fitri diharapkan dapat memaknai setiap pribadi yang melakukannya. Terlebih, bagi seorang mukmin yang sebelumnya menjalankan ibadah puasa ramadan. 

Mudik yang diartikan sebagai kembalinya masyarakat urban ke kampung halaman, perlu dimaknai sebagai mengembalikan nilai spiritualitas. Mengembalikan "kehambaan" dan "kemanusiaan" ke asalnya.

Dengan begitu, mudik yang dilaksanakan saban ramadan dan idul fitri tidak garing makna, dan justru lebih memiliki keutamaan dari sekadar pulang kampung biasa. 

Fenomena mudik lebaran yang dilatari semangat bersilaturahmi dengan sanak keluarga di kampung menjadi ritual tak terhindarkan jelang idul fitri. 

Tetapi, sadarkah bahwa mudik lebaran dapat diilustrasikan sebagai sebuah perjalanan spiritualitas, perjalanan manusia menuju ke "kemanusiaan".

Artinya, melahirkan kembali cahaya hakikat kemanusiaan kita yang memang lama tertiban gelapnya titik hitam selama berselancar dalam kehidupan duniawi.

Merangsang kembali potensi spiritualitas yang mengarahkan manusia menuju pencerahan yang dalam terminologi islam disebut ketakwaan.

Dan bukankah bulan ramadan yang didalamnya disyariatkan puasa dan zakat fitrah merupakan salah satu program wajib yang diarahkan guna mencetak generasi yang kuat secara spiritualitas (ketakwaan)?

Ramadan dan Spiritualitas

Ramadan disebut juga bulan penyucian diri, bulan pelebur dosa dan bulan beramal saleh. Bulan yang menjadi momentum bagi setiap mukmin untuk meningkatkan dan mengokohkan kualitas spiritual.

Bulan yang memang Allah janjikan balasan berlipatganda bagi setiap mukmin yang sungguh-sungguh meramaikan siang-malam ramadan dengan rangkaian ibadah.

 Oleh sebab itu, bulan ini sangat kental dengan nuansa religiusitas, karena dirancang sebagai bulan peningkatan spiritulitas. Siangnya, kita ditempa secara fisik untuk menekan hawa nafsu yang dapat membatalkan puasa. Di samping itu, kita didorong untuk melakukan amalan kebajikan guna menghindari perbuatan sia-sia yang dapat mengurangi nilai ubudiah. 

Ramadan sungguh istimewa. Berbeda dengan bulan-bulan yang lain, ia adalah bulan yang disebut sebagian ulama sebagai bulan melatih diri sebelum menjalani sebelas bulan berikutnya. 

Ramadan seperti menjadi madrasah dan rumah, tempat menempa pribadi seorang mukmin dalam hal belajar mengendalikan hawa nafsu yang kadang liar di bulan-bulan lalu. 

Ramadan adalah ruang dan waktu di mana kita perlu merenung dan merefleksikan diri kembali, guna memantapkan nilai spiritualitas yang selama ini terdegradasi oleh gemerlapnya kehidupan duniawi. Karenanya, ramadan dapat disebut sebagai tonggak mengembalikan sekaligus mengokohkan nilai spiritualitas.

Bukankah sebelum ramadan kita kerap terlena dengan rutinitas kerja yang tanpa disadari melalaikan kita dari berzikir dan bermuhasabah? Terbuai dengan kelezatan perhiasan dunia hingga menutup mata batin kita bahwa kehidupan akhiratlah yang abadi. 

Menggerus kualitas spritualitas hingga membuat harta sebagai tujuan hidup. Kebebasan mutlak sebagai pandangan hidup dan kenikmatan sebagai gaya hidup. 

Inilah yang penulis maksud mudik spiritual dalam kontek terminologi islam. Menjadikan ramadan sebagai bulan mengembalikan nilai spiritualitas, "kehambaan dan kemanusian" kita. 

Menyelami kembali hakikat kita sebagai manusia dan seorang hamba. Manusia yang dianugerahi sifat-sifat ketuhanan dan seorang hamba yang dilingkupi dengan berbagai keterbatasannya. 

Ilustrasi Mudik Spiritual

Mudik yang lazim diartikan sebagai pulang kampung dapat dimaknai sebagai proses perjalanan spiritual menuju kampung halaman yang sebenarnya (akhirat). Dalam rangkaian mudik, kita diilustrasikan sedang melakukan perjalan panjang yang berujung pada kehidupan akhirat. 

Bagi seorang mukmin, perjalanan ini mesti dipersiapkan dengan baik agar selamat sampai tujuan. Mempersiapkan bekal di dunia untuk kehidupan akhirat. Dunia bagi seorang mukmin seperti mengontrak dan setiap saat dapat ditinggal pulang menuju rumah keabadian (akhirat). 

Oleh sebab itu, mempersiapkan perbekalan sebelum mudik sesungguhnya (menuju akhirat) adalah kepatutan. Dan, hal tersebut diilustrasikan dengan mempersiapkan segala keperluan sebelum mudik lebaran.

 Seorang yang hendak mudik mesti mempersiapkan berbagai perbekalan dan perhiasan, misalnya pakaian baru, oleh-oleh dan sebagainya. Lalu, seorang yang ingin mudik tentu harus menaiki kendaraan, hal ini merupakan ilistrasi amalan yang diperbuat selama di dunia. 

Kemudian selama melakukan perjalanan, pemudik biasanya berhenti di rest area, lokasi transit atau tempat pemberhentian sementara. Hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah proses muhasabah, kontemplasi ataupun renungan. 

Setelah itu pemudik akan tiba di terminal atau tempat pemberhentian akhir. Ilustrasi ini menggambarkan kematian jasmaniah. Dan bagi seorang mukmin kematian bukanlah sesuatu yang menyedihkan melainkan hal yang menggembirakan. Hal ini pula yang terpancar manakala pemudik tiba di kampung halaman dan bertemu sanak keluarga. 

Di dalam bulan ramadan juga diwajibkan menunaikan zakat fitrah sebagai simbol penyucian diri dan penyempurnaan ibadah puasa ramadan sebelum memasuki hari kemenangan (idul fitri).

Saat bulan syawal menyongsong (idul fitri), seorang mukmin diilustrasikan dalam keadaan bersih dan suci, wajah mereka berseri-seri dengan pakaian baru dan wangi. Kondisi ini menggambarkan hari kebangkitan kelak, manusia akan dibangkitkan dari alam kubur (barzakh) dengan berbagai bentuk. 

Lalu mereka akan menuju masjid atau lapangan terbuka untuk melakukan salat ID sembari mengagungkan Asma Allah. Hal itu ilustrasi saat manusia dikumpulkan di padang mahsyar.

Ketika Khatib menaiki mimbar maka jemaah salat pun terdiam membisu. Ini adalah ilustrasi ketika hari perhitungan tiba (yaumul hisab), saat itu tak seorang pun mampu berkata-kata, apalagi membantah. 

Seusai khatbah, jemaah salat ID pun menumpahkan air mata menyesali perbuatan masa lalu dan saling memohon maaf. Ini adalah ilustrasi yang menggambarkan kondisi manusia saat menerima catatan amalan di dunia. Di hari itu pula banyak manusia yang menyesal tidak mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat.

Terakhir, jemaah salat ID akan kembali ke rumah masing-masing. Ilustrasi ini menggambarkan peristiwa manusia menerima balasan, kebahagian atau kesengsaraan (surga atau neraka).

Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang-orang yang menyesal di kehidupan akhirat kelak sebagaimana yang dilukiskan Allah dalam firmannya.  "Ya Tuhanku, sekiranya engkau menangguhkan (kematianku) sekejap saja, maka aku akan berbuat kebaikan, sehingga aku tergolong orang-orang yang saleh" (QS: Al-munafiqun: 10).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun