Mohon tunggu...
Fadhila Fauzia
Fadhila Fauzia Mohon Tunggu... Penulis - SHS Student 🧕🏻

just hang in there! better day will come ⛅🌈

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mematahkan Mitos Perempuan sebagai Kaum Inferioritas

26 Januari 2020   20:46 Diperbarui: 26 Januari 2020   21:09 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penting pada saat itu bagi setiap individu yang menjadi bagian dalam kelompok kekerabatan tertentu "menandai" diri dengan melukis atau menghias bagian dari tubuhnya. contohnya dengan "menandai" diri berdasarkan jenis kelamin dan kategori umur.

Alih-alih merupakan "hiasan", tanda-tanda ini untuk menjaga sejarah kehidupan setiap individu, yang oleh masyarakat sekarang diabadikan melalui foto album keluarga. Dikarenakan masyarakat primitif adalah masyarakat komunis, tanda-tanda ini dibentuk berdasarkan aspek kesetaraan.

Saat masyarakat kelas hadir, tanda-tanda yang menandakan kesetaraan sosial dalam masyarakat primitif diputarbalikkan. Penandaan itu berubah menjadi fashion dnan hiasan yang merepresentasikan adanya ketimpangan sosial. Penandaan menjadi ekspresi pembagian masyarakat antara yang kaya dan yang miskin, antara penakluk dan yang ditaklukkan. Pada perkembangannya, kosmetik dan  fashion menjadi hak  preogratif dan aristokrasi.

Perkembangan kapitalisme, meningkatkan ekspansi dengan mesin-mesin baru yang bertambah produktif, sehingga membutuhkan pasar yang lebih besar. Sejak perempuan berjumlah setengah dari populasi manusia, para pengejar keuntungan mencari profit dari kecantikan perempuan dan mulai mengeksploitasi hal itu. Bidang fashion secara bertahap meluas dan keluar dari batas-batas sempit kekayaan. Fashion kemudian menjadi kebutuhan dari seluruh populasi perempuan.

Untuk melayani hasrat para pebisnis besar, perbedaan kelas didokumentasikan dan disembunyikan dibalik identitas jenis kelamin. Para penjaja iklan yang disewa kapitalis mulai mengeluarkan propaganda: semua perempuan ingin menjadi cantik, oleh karenanya, semua perempuan memiliki kepentingan yang sama dalm hal kosmetik dan fashion. Pakaian mewah menjadi identik dengan kecantikan, semua perempuan dibuat agar "butuh" dan "ingin" untuk terus membeli alat bantu kecantikan demi terlihat menawan.

Dunia kosmetik dan fashion telah menjadi tambang emas bagi kapitalis yang jumlahnya hampir tak terbatas. Para pebisnis dalam bidang kecantikan ini, akan menjadi lebih kaya raya hanya dengan mengubah mode dan menciptakan lebih banyak dan lebih baru alat bantu untuk mencapai kecantikan.

Permasalahan ini, membuat perempuan sangat menderita. Mereka dibuat frustasi oleh beban nyata dalam kehidupan dibawah kapitalisme. Mereka cenderung tidak tahu dimana sumber masalahnya berasal.

Para perempuan pekerja cenderung memandang "pengrusakan" imajiner mereka sebagai sumber masalah. Mereka menjadi korban dari kompleksitas masalah inferioritas perempuan. Ribuan, puluhan ribu, bahkan jutaan manipulator kecantikan, memberikan uang hasil jerih payah mereka kepada para pebisnis kecantikan.

Oleh karenanya, ketika perempuan berpendapat bahwa mereka memiliki hak untuk menggunakan kosmetik, fashion, dan yang lain, mereka sebenarnya telah terperangkap dalam propaganda dan praktik kapitalis untuk meraup laba.

Para perempuan yang di garis depan perjuangan dalam memimpin perubahan sosial, tidak boleh terjebak dalam jerat fashion ini. Tugas mereka adalah untuk menunjukkan ulah para bajingan yang mendapatkan untung dari viktimisasi perempuan semacam itu.

Mitos bahwa selama kapitalisme berlangsung, kaum perempuan diharuskan mematuhi perintah kepentingan kosmetik dan fashion agar tidak tertinggal, adalah hal yang perlu dilawan. Memang benar, dengan kosemtik dan fashion perempuan yang bekerja di kantor-kantor untuk alasan tertentu akan mendapatkan pengakuan atas kenyataan pahit yang dialami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun