Mohon tunggu...
fadhilah nur pratiwi
fadhilah nur pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Makassar

Mahasiswa Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stereotipe Perempuan dalam Media

18 Mei 2022   06:51 Diperbarui: 18 Mei 2022   06:58 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perbincangan mengenai ketidakadilan gender identik dengan ketidakadilan terhadap perempuan. Mengapa lebih identik terhadap perempuan? Perbincangan gender ini muncul pertama kali ketika pada abad ke-19 di Prancis, yang di mana pada saat itu laki-laki dan perempuan memiliki perolehan upah yang sangat berbeda saat bekerja. 

Hal inilah yang memicu adanya ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Terdapat 5 bentuk ketidakadilan gender yang sering dijumpai seperti, pelabelan (stereotype), beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan pelecehan. Ketidakadlian gender juga berasal dari budaya patriarki. Seiring berjalannya waktu, pada era digitalisasi budaya patriarki kurang lebihnya dapat memudar dikarenakan banyaknya dari berbagai pihak menyuarakan pendapatnya.

Pada era digitalisasi peranan media sosial juga sangat penting, karena melalui media sosial ada banyak hal manfaat yang dapat diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari, mulai dari tempat bersosialisasi, tempat hiburan, membuka usaha, mengutarakan sebuah ide yang kreatif, tidak sedikit orang bahkan menghabiskan banyak waktunya dalam bermedia sosial.

Apakah terdapat dampak akibat munculnya sebuah media sosial? Segala sesuatu yang kita lakukan pastinya memiliki dampak, termasuk media sosial. Media sosial memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya kita dapat berkomunikasi tanpa batas baik itu tanpa adanya batasan ruang dan waktu. Sedangkan dampak negatif bermedia sosial salah satunya yaitu, munculnya stereotype gender yang kebanyakan dialami oleh pihak perempuan.

Pernyataan seperti, "perempuan dengan mudah menangis, memiliki kepribadian yang lemah, gampang terbawa emosi (sensitive)" dan masih banyak pernyataan lainnya merupakan yang paling sering dialami oleh perempuan. Stereotipee muncul pada lingkungan yang membentuknya, adanya konstrukan sosial sehingga terdapatnya pelabelan yang melekat pada perempuan. 

Stereotipee juga memberikan gambaran pola pikir masyarakat pada tubuh perempuan, istilah pada saat ini adalah standar kecantikan. Perempuan dituntut untuk dapat mengikuti standar kecantikan yang ada, putih mulus, bibir yang merah ranum, bulu mata yang lentik, proporsi tubuh tinggi dan langsing.

Baru-baru ini seringkali beauty privilege menjadi sebuah perbincangan. Beauty privilege merupakan istilah dari hak istimewa yang didapat seseorang yang dianggap lebih cantik maupun menarik berdasarkan standar kecantikan masyarakat.

Seperti apakah beauty privilege itu? Beberapa penelitian dan penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa penampilan sebenarnya berhubungan langsung dengan seberapa baik seseorang diterima oleh orang lain di lingkungan sosial dan juga di tempat kerja.

 Contoh yang baru saja terjadi adalah seorang anak kecil pengamen, pengamen badut ini memiliki paras cantik yang viral di salah satu media sosial dikarenakan ada yang mendokumentasi diam-diam anak tersebut. Anak tersebut menjadi terkenal, dicari dan diundang dimana-mana. 

Melainkan prestasi, media sering sekali menomorsatukan tentang apa saja yang sedang viral. Banyak media yang masih mengeksploitasi perempuan dan menjadikan mereka sebagai objek dalam suatu tayangan, tanpa memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan gender, apalagi penghormatan terhadap perempuan.

Siapapun yang tampil sebagai selebriti di televisi harus selalu terlihat baik. Jika dia tidak cantik, seorang perempuan akan diolok-olok: tidak seksi, tidak putih, wajahnya tidak laku, reputasinya kurang dari perempuan cantik lainnya. Bahkan status lajangnya pun seringkali dipertanyakan pada saat acara infotainment.

Stereotipe cantik tidak hanya muncul di industri periklanan, tetapi juga menembus ruang redaksi berita di televisi. Sebuah stereotipe yang jarang terlihat berada di ruang redaksi di media cetak atau radio.

Stereotipe seputar kecantikan inilah yang akhirnya membuat perempuan membenci tubuhnya. Para perempuan muak dengan wajahnya yang kurang cantik, kakinya yang tidak cukup panjang dan terlalu gemuk untuk tubuhnya. Akibatnya, perempuan menjadi pemimpi -- mereka yang ingin berubah menjadi tubuh yang diinginkan industri. 

Untuk prasyarat indah ini kemudian digunakan untuk menentukan identitas individu, yaitu melalui segala bentuk simbol, makna, representasi, dan gambar. Norma-norma ini biasanya diberi label untuk orang atau kelompok tertentu.

Tanpa disadari, media, khususnya televisi, melalui berbagai program atau programnya, menciptakan stigma tertentu tentang perilaku atau peran perempuan, meskipun belum tentu benar. Hal ini akan sangat merugikan perempuan, apalagi jika masyarakat tidak teredukasi dengan baik tentang kesetaraan gender.

 Seperti contohnya juga di sinetron-sinetron yang kebanyakan menampilkan karakter wanita hedonis yang berperan sebagai perebut suami orang, tukang gosip  pendendam, pecemburu, pemarah dan sebagainya.

Kondisi ini perlu diperhatikan karena ketika masyarakat masih memiliki pemikiran seperti itu, stereotipe perempuan di dunia sosial tidak akan bisa diminimalisir. Dalam situasi ini, banyak orang harus dapat merubah pikirannya untuk menghindari munculnya kesalahpahaman terhadap sosok perempuan. 

Jika kita tidak mengubah pikiran kita, tidak akan ada perkembangan yang signifikan bagi perempuan di masa depan dan perempuan akan terus distereotipekan, dan terlebih lagi, konsekuensi dari stereotipe cukup serius, yang dapat merusak konsep diri dan membatasi individu atau kelompok dalam mengembangkan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki, juga akan dapat menghancurkan citra diri

Saatnya media membuka cakrawala perempuan dan membantu membentuk citra perempuan. Setidaknya, semua perempuan harus memiliki kesetaraan gender agar tidak tunduk pada stereotipe yang dapat merusak konsep diri mereka dan dapat bertindak juga mengekspresikan diri sesuai keinginannya tanpa takut distereotipekan di media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun