Mohon tunggu...
Fadchul Achmad Albaihaqi
Fadchul Achmad Albaihaqi Mohon Tunggu... Lainnya - -

🌹

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanda Alam

22 November 2020   23:48 Diperbarui: 23 November 2020   00:37 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menjelma dalam angan dan masuk ke dalam kehidupan. Aku adalah salah satu siswa di sekolah menengah atas di suatu desa. Dikarenakan jarak dari desa sampai ke kota memerlukan biaya yang banyak aku pun terpaksa sekolah di desa dekat rumahku. 

Setiap pulang sekolah aku selalu marah kepada orang-orang yang ada di rumah karena aku sangat tidak percaya diri soal sekolahku yang di desa karena takut tidak dapat menggapai impianku untuk kuliah karena fasilitas sekolah di desa yang tidak memadai. Tapi seiring waktu akhirnya aku menyatu dengan sekolahku yang ada di desa.

Ternyata sekolah di desa tidak seburuk yang aku pikirkan, aku mengikuti berbagai ekstra kurikuler di sekolah mulai dari pramuka, futsal, voli, serta bulu tangkis. Hingga aku dapat bersaing ikut berbagai lomba yang ada sampai tingkat provinsi mengalahkan teman-temanku yang lain yang sekolah di kota.

Dari torehan prestasi yang aku dapatkan, aku semakin terkenal di mata teman-temanku bahkan sampai kakak dan adik kelasku. Semua orang yang ada di sekolah bahkan staf, guru semua mengenalku. Dari sinilah ceritaku dimulai, sekarang aku memasuki semester akhir sekolah menengah atasku. 

Semua kegiatan ekstra kurikulerku berhenti dan fokus untuk belajar. Memang kata terlambat sungguh menghampiriku untuk belajar saking asiknya aku mengikuti kegiatan di luar jam pelajaran. Akhirnya aku sering mengikuti berbagai les mata pelajaran di berbagai bimbel ternama.

Senin pagi, merupakan pagi yang sangat berat bagiku untuk bangun dari hari liburku untuk mengikuti berbagai aktivitas. Yang pertama adalah kegiatan upacara bendera di pagi hari. 

Saat itu aku bangun kesiangan, dan akhirnya aku terlambat. Aku buru-buru sekali saat mandi dan secepat kilat mengganti baju seragamku. 

Untunglah jarak antara sekolah dengan rumah cukup dekat hanya butuh waktu 5 menit aku sampai di sekolah. Dan tidak disangka-sangka gerbang sekolah sudah ditutup oleh pak satpam. Sebenarnya usianya masih muda  sehingga teman-teman sering memanggilnya dengan sebutan Mas Supri.

“Mas.... mas.... mas..... mas... Mas Supri bukain pintunnya dongg” kataku sambil bicara penuh nada sendu supaya Mas Supri bersimpati padaku dan mau membukakan pintu gerbang sekolah.

“Elah... kok bisa telat” kata Mas Supri sambil membuka pintu gerbang.

Tidak disangka, dan tidak diduga Pak Narno guru terkiller di sekolah muncul tiba-tiba dari depan. Tanpa ada aba-aba Pak Narno mengambil kunci sepeda motorku.

“Hmmm... telat, sana dorong motormu sampai parkiran atas.” Kata Pak Narno sambil jari telunjuknya menunjuk ke parkiran atas.

Aku hanya dapat berkata “Iya pak” sambil menundukkan kepala. Kudorong sepeda motorku dengan susah payah sampai ke parkiran atas. 

“Capek banget YaAllah” kataku dalam hati.

Upacara sudah sampai pertengahan acara dan aku baru sampai alhasil akupun dipajang di depan sebagai pajangan. Malunya bukan main saat teman-teman, guru-guru melihat ke arahku sambil geleng-geleng.

Saat itu ada razia rok pendek dan celana pensil. Sehingga semakin banyak temanku di depan. Aku merasa ada banyak teman wkwk. Eh tapi tidak disangka dan diduga ternyata aku juga ikut terciduk razia celana pensil. Maklum karena kebesaran maka celananya kubawa ke penjahit untuk dikecilkan. 

Akupun mendapat dua hukuman, yang pertama karena telat. Yang kedua karena razia celana. Kami dihukum untuk membersihkan rumput dan daun-daun dari tangkai pohon kamboja sampai ke pohon mangga yang ada di sekolah. Sekolahku dikenal sebagai sekolah adiwiyata jadi tak heran jika banyak sekali tumbuhan, pepohonan hidup mengelilingi sekolah sehingga terlihat rimbun dan agak menakutkan.

Hukuman pun dibagikan kelas sepuluh membersihkan halaman depan, kelas sebelas membersihkan lapngan, dan kelas dua belas membersihkan halaman belakang.

“Membersihkan halaman belakang?” kataku sambil sedikit merinding.

“Serem pak!” kata teman-temanku.

“Sudah jangan banyak alasan kalian, kalian ini sudah kelas dua belas masih aja buat onar, harusnya kalian itu memberi contoh buat adik-adik kelas kalian supaya bertindak baik dan menorehkan prestasi.” Ujar Pak Narno mrnggunakan nada tinggi.

“Iya pak”, ujarku dan teman-teman sambil melihat ke bawah.

Halaman belakang adalah tempat di mana pohon-pohon besar yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun dan ada batu-batu besar yang sudah berlumut dimana-mana jadi aku merasa sedikit merinding. Kami selaku anak kelas dua belas akhirnya memberanikan diri tanpa menolak perintah dari Pak Narno.

Sampai di halaman belakang, aku langsung mengambil sabit, dan teman-teman yang cewek mengambil sapu. Eh ternyata ada mantan gebetanku juga namanya Dewi, dia nyapa aku “Ada Ahmad nihh”. Aku memang biasa dipanggil Ahmad oleh teman-temanku. “Lho kamu udah di sekolah lagi, nggak pergi-pergi kaya waktu kelas sebelas?” Dewi kembali bertanya. “Iya, udah pensiun aku”, jawabku sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. Kami akhirnya berbincang-bincang sambil melaksanakan hukuman.

Tiba-tiba Rudi kesurupan. Teman-teman yang lain kaget mendengar Rudi teriak-teriak, sementara yang lain langsung berhamburan. Pak guru langsung datang menenangkan semua siswa termasuk si Rudi. “Tenang semua, jangan sampai pikiran kalian  kosong”, kata pak guru. Akupun tanpa pikir panjang langsung memikirkan pujaan hatiku hehehe.

“Ngalih... ngalih ojo ganggu panggonanku!” teriakan Rudi sambil mengguling-nggulingkan badannya. Dalam pikiranku aku bertanya-tanya siapa juga yang gangguin tempat kamu. Setelah itu pak guru membacakan ayat suci Al Quran, kemudian Rudi mulai tenang dan kembali normal. Setelah ditanya-tanya ternyata Rudi tidak sengaja menginjak batu besar yang ada di halaman belakang sekolah. Setelah muncul kupu-kupu yang banyak sekali seketika badannya terasa berat dan kepalanya berkunang-kunang dan dia hilang kesadaran. 

Rudi adalah anak yang satu kelas denganku, anaknya memang agak bandel, tapi masih batas wajar. Akibat dari kesurupan itu, hukuman dibubarkan.

Jam kedua dimulai, pelajaran berlangsung seperti biasa. Sampai akhirnya jam istirahat datang. Jam yang ditunggu-tunggu walaupun waktunya hanya 15 menit, aku dan teman-temanku langsung menuju kantin yang berada di bawah. Jarak kantin sangat jauh dari kelasku, tetapi tetap aku lampaui dengan ikhlas demi rasa lapar yang merong-rong perutku. 

Kami pun memesan bakso kesukaan kami. “Buu... bakso empat dimakan di sini sama minumnya es jeruk dua, es teh dua.” Ujarku memesankan pesananku dan pesanan teman-teman. Setelah kenyang, kami bercerita soal kesurupan tadi pagi. Bel masuk kembali berbunyi. “Ttreet..... treeeet.... treet...” kami bergegas masuk ke kelas.

Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran bahasa Indonesia. “Oke, sekarang kalian buat puisi temanya bebas!” perintah Pak Nugroho, guru bahasa Indonesiaku.

“Yahhhh.. kok puisi pakk, tapi gapapa deh kalo gitu”, teman-teman menyahut perintah Pak Nugroho.

“Saya beri waktu 45 menit untuk membuat puisi, saya tinggal dulu yaa”, kata pak guru.

Waktu berjalan perlahan-lahan ku upayakan otakku untuk berpikir kata demi kata supaya tersusun kalimat yang indah. Setelah menulis sekitar 30 menit, akhirnya puisiku selesai, dengan percaya diri aku membacakan puisiku.

“PUISI KARYAKU, Tahun demi tahun berlalu, kini tiba Bulan Desember tepat tanggal 30, seraya rinai hujan yang turun, membasahi dedaunan, kupeluk erat bayanganku sambil melihat kembang api dan mencium aroma tahun baru, debur ombak membasahi tulang tulangku”, aku langsung berhenti membaca ketika Pak Nugroho datang, sambil menahan rasa malu aku mulai duduk.

“Sudah selesai anak-anak?”, tanya pak guru.

“Sudah, pak”, seru anak-anak.

“Oke, sekarang kumpulkan ke depan ya anak-anak!”, perintah pak guru kembali.

“Treet... treett... trettt...”, bunyi bel pelajaran selesai. Seluruh siswa langsung berhamburan menuju area parkir.

Tiba-tiba suara jeritan terdengar sangat keras, tak sengaja aku melihat perempuan berkerudung merah lewat di depan mataku. Mataku langsung terbelalak melihat sosok perempuan cantik dan senyumnya sangat manis. Aku terasa terhipnotis olehnya, baru aku tersadar saat ada yang memukul bahuku pelan dari belakang, yaitu Dewi.

“Ngapain kamu ngelamun sendiri di sini?” tanya Dewi.

“Eh, kamu nggak liat ada cewek cantik lewat?” kataku.

“Mana?? Orang gaada siapa-siapa juga kok”, kata Dewi.

“Haaa.. masa kamu nggak liat?” tanyaku penasaran.

“Gaada, yakin aku.” Kata Dewi meyakinkan.

Aku hanya diam, kemudian Dewi melangkah keluar menuju parkir. Sambil mengikuti langkah Dewi dari belakang aku terus berfikir siapa sebenarnya perempuan berkerudung merah tadi. “Kunci sepeda motorku masih disita Pak Narno wi.” Kataku, “Ya udah aku antar ambil kuncinya”, balas Dewi. 

Melihat keadaanku yang masih melamun mungkin Dewi merasa khawatir, jadi dia menemaniku sampai ke rumah. Aku mengucapkan terima kasih pada Dewi setelah sampai ke rumah.

”Makasih ya Wi udah nemenin aku”, Dewi menjawab “Iya sama-sama, udah jangan banyak ngelamun nanti kamu kaya Rudi loo”, “Hehehe iya nggak kok”, jawabku singkat. Dewi menjalankan motornya, akupun mulai masuk ke dalam rumah.

Sampai rumah tidak ada orang sama sekali, karena ibuku sedang pergi bersama teman-temannya ke pengajian di luar kota. Setelah aku mandi dan ganti baju, aku bergegas membeli makanan untuk makan malam. Aku membeli nasi goreng kesukaanku. “Bang beli nasi gorengnya satu, nggak pedes yaa”, kataku. 

“Iya mas, antre dulu yaa”, jawab abang penjual nasi goreng. Setelah menunggu beberap saat, pesananku telah siap. “Ini mas, pesanannya tadi”. Tanpa basa-basi aku langsung mengulurkan uang. Aku hafal harganya, soalnya udah langganan.

Masih dengan keadaan rumah yang sepi, aku masuk lalu menyalakan lampu rumah karena hari sudah mulai petang. Aku ambil piring lalu mulai memakan nasi goreng tadi, mmmmm rasanya ahh mantab. Karena terlalu kekenyangan akhirnya aku ketiduran di depan ruang TV. Merasa kedinginan, kemudian aku mencoba bangun dan menuju kamar tidur.

Ketika berada di kamar aku memeriksa HP sambil melihat jam yang ada di layar. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tiba-tiba ada pesan masuk dari Dewi.

“PING!!!.... PING!!!...”, langsung aku buka pesannya yang berisi, “ Hai Ahmad, gimana kamu udah enakan belum badannya?”

“Aku gapapa ko Wi, kok kamu belum tidur ini kan sudah malam”, pesanku ke Dewi.

“Sekali-kali lahh hehehe”, balas Dewi.

“Iya dehh, aku aja habis ketiduran waktu maghrib, tau-tau udah jam 12”, balasku.

“Aku pengen ketemu Mad?”, balas Dewi.

“Kenapa emang?, besok aja waktu jam istirahat, oke?”

Setelah menunggu beberapa lama Dewi tak kunjung membalas pesanku, kupikir dia sudah tidur. Akhirnya aku meneruskan tidurku.
Suara adzan mulai berkumandang, aku spontan bangun mendengarnya. Kulihat ponselku menunjukkan pukul 4 pagi, aku segera cuci muka, sikat gigi, lalu sholat subuh. 

Setelah sholat subuh aku tertidur kembali. Ternyata ibu sudah pulang dari pengajiannya di luar kota, ibu membangunkanku untuk sekolah. Aku terbelalak karena aku terlambat bangun lagi, segera aku mandi dan memakai seragam. Di tengah perjalanan menuju sekolah, aku berpapasan dengan Dewi, aku langsung menyapanya dengan membunyikan klakson motorku. Dewi hanya menatapku sebentar dengan pandangan kosong. 

“Kenapa ya Dewi, katanya kemarin mau ketemu, eh papasan di jalan diem aja, hmm... dasar aneh”, gumamku dalam hati.
Sampai di kelas pelajaran sudah dimulai, untung bu guru lagi baik hati akhirnya aku diizinkan untuk masuk ruangan. Di kelas suasana hening hanya ada suara bu guru yang menjelaskan pelajaran.

“Treet... treett... treetttt...”, bunyi bel istirahat berbunyi.

Teman-teman seangkatanku mengadakan perkumpulan mendadak.

“Ada apa nih, kok tiba-tiba kumpul mendadak banget?” tanyaku.

“Loh kamu gatau Mad?”, balas Rudi.

“Dewi kemarin habis nganterin kamu dia kecelakaan dan sekarang dia koma di rumah sakit”, balas teman-temanku serentak.

“Haaa apaa?”, dengan raut muka yang tidak percaya dengan apa yang telah aku lalui, aku sampai lemas mendengar pernyataan teman-temanku.

“Nggak mungkin tadi malem Dewi masih chat aku katanya dia mau ketemu waktu istirahat, dan tadi pagi aku papasan sama dia, mana mungkin dia koma sejak kemarin nganterin aku”, ujarku sambil menangis sendu.

Kemudian Rudi menunjukkan foto Dewi yang sedang terbujur koma di rumah sakit. Semakin tidak percaya aku dengan semua ini. Saat aku ingin menunjukkan chatku dengan Dewi tadi malam, ternyata chat itu sudah sirna entah ke mana.

Kemudian teman-teman mengajakku untuk menjenguk Dewi ke rumah sakit. Di tengah perjalanan, Rudi mendapat pesan dari keluarga Dewi bahwa Dewi sudah tiada. Innalillahi wainnailaihi rajiun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun