Pagi itu, di bawah langit Pontianak yang perlahan membuka hari, saya duduk di tengah-tengah meja sebuah warung kopi legendaris Bersama beberapa orang sahabat dan seorang guru, sang guru ini yang sudah menuntun banyak anak muda di Indonesia menafsirkan kehidupan dengan sederhana dan tegas. Di hadapan kami, kepulan aroma kopi saring membumbung dan beberapa kudapan sederhana, tak lupa nasi uduk serta bubur sapi membenamkan hasrat dan kenangan dalam satu tarikan napas. Sang guru menatap tajam dan berkata pelan, “Asiang itu bukan sekadar kopi, ia simbol ketegasan. Di sini, kopi berbicara tentang karakter, bukan sekadar rasa, ini adalah simbol.”
Kita boleh saja berbicara tentang tren kopi modern dan budaya “hipster” yang kini digandrungi generasi muda. Namun satu hal yang tak bisa dibantah: di Pontianak, simbol kekuatan dan ketegasan itu bernama Warung Kopi Asiang. Lebih dari sekadar tempat ngopi, Asiang telah menjadi ikon perlawanan terhadap arus komersialisasi yang menggerus otentisitas. Dari gerobak sederhana di bawah pohon pada tahun 1958, Ashiang berdiri sebagai penanda bahwa tradisi kuat tak akan pernah tumbang oleh waktu.
Koh Asiang, sosok legendaris warung ini, menghadirkan filosofi hidup yang lugas, tanpa basa-basi. Ia bekerja tanpa kenal lelah, meracik kopi dengan bertelanjang dada, seolah menantang setiap kemapanan semu yang hadir. Hanya keberanian, keotentikan, dan ketegasan yang tersaji dalam tiap cangkirnya. Asiang membuktikan, keberhasilan itu lahir dari kerja keras dan konsistensi, bukan dari gimik atau kemewahan artificial.
Bayangkan, di tengah invasi modernisasi dan cafe mewah berdekorasi mahal, Warkop Asiang tetap berdiri gagah. Di sinilah, cita rasa kopi dan kehangatan interaksi antar manusia berpadu, mempertegas kekuatan tradisi, keberanian, dan persatuan. Tak heran, warkop ini menjadi ruang perlawanan: bagi siapa pun yang menolak tunduk pada arus industri yang merampok tradisi.
Setiap cangkir kopi di Asiang bukan sekadar minuman, tetapi manifesto sosial. Pengunjungnya lintas usia, pekerjaan, jabatan dan strata sosial egalitarianisme yang membumi. Bahkan di masa krisis pandemi, Asiang tidak menyerah; tetap berdiri, melawan, dan mewariskan daya tahan tradisi. Asiang telah membuktikan: ia bukan hanya primadona, melainkan benteng identitas Kota Pontianak.
Bagi saya, Asiang adalah mercusuar ia mengibarkan bendera keberanian dan ketegasan masyarakat Pontianak. Kuat dalam tradisi, teguh mempertahankan warisan, dan tak gentar melawan arus zaman. Sudah saatnya kita bertanya: adakah ruang-ruang perlawanan lain yang sama kuat dalam menjaga jati diri?
Warung Kopi Ashiang adalah pengingat: di era ketika semua hal mudah berubah, ketegasan adalah kunci. Kopi Asiang adalah kopi para pemberani. Mari sruput kopinya dan nikmati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI