Mohon tunggu...
Rininda Mahardika
Rininda Mahardika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi bukanlah jalan untuk memperoleh kesenangan serta mengisi waktu luang belaka. Hobi merupakan ruang untuk menampung segala skill non akademis di setiap insan. Tidak peduli kau suka menulis ataupun menggambar. Semuanya akan menjadikan pundi-pundi uang atau bahkan media pembelajaran bagi siapa saja yang mengasahnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Seorang Pencuri

28 November 2022   13:15 Diperbarui: 29 November 2022   08:38 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi wanita (sumber gambar: pinterest)

Listrik di rumahmu mulai padam, semenjak tiga hari yang lalu PLN memutus sambungan karena ribuan kertas tagihan berserakan di ruang tamu. Kecelakaan yang sempat menewaskan kedua orang tuamu, membuat kau tak berdaya, jiwamu tiada bergairah, dan rasanya hidup seakan tiada gunanya.

Hari itu hanya kau yang berhasil diselamatkan. Pihak tenaga medis dengan cekatan menangani luka di sekujur tubuhmu tapi tidak dengan luka yang ada di batinmu. Seminggu sudah kau mengurung diri di sudut kamar nan gelap, tanpa berinteraksi dengan orang-orang di luar sana.

"Manusia merupakan makhluk yang sukar memaafkan. Apa salahnya jika memberi kesempatan kedua bagi orang untuk bertobat? Mereka jarang menerawang bagian dalam berupa titik putih di hati nurani. Apa karena aku anak seorang pencuri sehingga nasibku miris seperti ini?" Kau terus meracau tak keruan seorang diri.

Menurutmu manusia-manusia di luar sana jahat. Ketika kedua orang tuamu di dalam peti tak satupun dari mereka mampu mengasihani bahkan nyaris tiada insan yang melayat, membawa bunga, ataupun ikut berduka cita. Seolah kematian orang tuamu adalah sebuah perayaan bagi penduduk sekitar.

"Apa guna aku diselamatkan jika berakhir seperti ini?"

Kau menggumam sambil memeluk kedua lutut. Matamu yang berbinar mulai merah membengkak, kantung hitam nampak di bawah kelopak, ragamu tinggal tulang, rambutmu mencuat tak keruan. Rasa lapar seolah hanya igauan semata. Namun kesedihan terus menerus berlarut, menyelimuti segenap jiwa hingga menelan habis secercah cahaya.

Sudah berapa lama kau tak menikmati sinar mentari pagi? Dan  kapan terakhir kali engkau merasa bahagia?

"Tuhan terlalu baik hingga membiarkan ciptaan-Nya yang tidak pandai bersyukur ini berkelana dalam kegelapan." Kau bermonolog, sepasang matamu menerawang ke luar jendela. Hari ini sang langit bersuka cita ikut merayakan bangkitnya tuan matahari tengah tersenyum berseri-seri. Kekehan anak kecil yang tengah bermain di bawah rangkulan cakrawala biru menambah pelengkap suasana.

Sampai suatu ketika bola kuning memecahkan jendela kamarmu lalu menggelinding tepat di hadapanmu. Kau hanya menatap nanar bola itu tanpa menyentuhnya dan sesekali sesenggukan.

"Sudah biarkan saja bolanya! Nanti kita beli lagi." Terdengar suara ibu-ibu tak jauh dari dinding kamarmu.

"Enggak mau! Enggak mau! Aku cuma mau yang itu!" Sang anak merengek tak mau kalah.

"Rumah itu angker, berhantu, tak berpenghuni! Kamu mau ambil sendiri?!" Si Ibu bersi keras meyakinkan anaknya agar tidak memasuki rumahmu. Tapi sang anak terus saja merengek tanpa henti hingga suara tangisannya nyaris merusak gendang telingamu.

Lalu tiba-tiba kau mendengar satu suara lagi. Suara bocah laki-laki yang berusia sepuluh tahun. "Maaf Bibi, biar aku saja yang mengambilnya. Lagipula ini salahku karena menendangnya terlalu kencang."

"Kau yakin? Apa tidak dimarahi orang tuamu nanti dan memangnya kau berani?" Si Ibu menantangnya.

"Tidak ada yang perlu ditakuti, Bibi. Ini hanyalah rumah kosong yang tidak ada penghuninya. Aku permisi dulu!"

Suara langkah sepatunya menggema di seluruh ruangan. Engkau tetap bergeming, tak ada pergerakan satu pun. Hanya terdiam memeluk lutut di sudut ruangan sambil menatap malas bola kuning itu. Seakan kau sudah tidak tertarik dengan salah satu manusia yang berhasil memasuki rumahmu tanpa rasa takut.

Biasanya yang memasuki tempat tinggalmu hanya anak-anak iseng yang sok-sokan melakukan uji nyali. Tapi dia berbeda, dia sama sekali tak bergidik ngeri, bahkan sayup-sayup telingamu menangkap senandungnya. "Baru kali ini aku mendengar nyanyian."

"Di mana ya? Perasaan di sekitar sini." Langkah kecilnya makin mendekat. Kau masih diam tanpa berkata-kata dengan penampilan burukmu yang menyeramkan.

"Ketemu!" Dengan langkah bersemangat ia ambil bola itu. Namun ketika berniat keluar, langkahnya terhenti. Dia menoleh ke arahmu, rupa-rupanya dia menyadari kehadiranmu yang memojok di sudut ruangan.

"Hai! Namamu siapa? Kupikir tidak ada orang di sini. Apa kau sudah lama?" Bocah laki-laki itu memiliki rasa penasaran yang tinggi. Tanpa ada takut-takutnya ia memberanikan diri berjongkok di hadapanmu sambil memegang bola kuning milik temannya. Sementara kau melirik sekilas kemudian kembali ke aktifitasmu yang memandang kosong dunia.

Bocah itu mengulurkan tangannya sembari memoles senyum lebar. "Aku---"

"El! Kembalikan bolanya! Ayo kita main lagi!"

Dia mendongak keluar jendela, berjinjit-jinjit seakan menghilangkan dinding pembatas antara dunia luar dengan duniamu saat ini. Lalu ia melemparkan bolanya lantaran memanjat jendela seraya melambai-lambaikan tangannya.

"Kalian main saja dulu nanti aku menyusul!"

"Jangan lama-lama ya! Kita kekurangan orang!"

Bocah laki-laki itu tak kunjung pergi. Ia malah ikut-ikutan memeluk lutut di hadapanmu sambil cengar-cengir. Kau pun menatapnya heran karena kau pikir dia agak sedikit gila.

"Hai, namamu siapa? Aku Elias," katanya. Namun kau diam membisu. Elias tak kehilangan akal, tanpa seizinmu dia menyibak rambutmu yang kusut tak terawat dengan lembut penuh kasih sayang. Bahkan kau terbelalak karena merasakan kehangatan yang menjalar di setiap sentuhannya.

Lalu dia mengangkat wajahmu dengan senyumnya yang sehangat matahari Elias berkata, "Kau cantik!"

Kau terpaku, bukan karena kebiasaanmu melainkan terpukau ada kilatan harapan muncul di matamu yang merah membengkak. Kau pun menenggelamkan wajah, malu, sebab lupa cara membalas dialog orang.

"Mengapa, mengapa aku diasingkan dunia hanya karena aku anak seorang pencuri?" Kau lagi-lagi meracau. Kesendirian di tengah ruang kegelapan menyebabkanmu kesulitan untuk saling melempar dialog.

"Kau tahu? Orang lain sering melihat keburukan manusia dibanding kebaikannya? Sebab mereka memiliki insting yang mewakili pikiran mereka untuk melihat bahwa orang itu tak layak dikasihani." Elias berceramah tepat di sampingmu. Sesekali mengambil posisi yang nyaman agar bisa bersandar.

Engkau tertegun mendengar penjelasannya. Rasanya sangat mustahil seorang bocah sepuluh tahun memaparkan ceramah yang bahasanya sulit dimengerti. "Kau, dari mana belajar kata-kata itu?"

Tanpa disadari kau sudah siap menghancurkan dinding dimensimu.

"Tidak ada, aku hanya belajar banyak dari kehidupan."

"Tapi kau hanya seorang bocah! Bocah SD!" Kau membantah dan hampir berteriak padanya.

Elias berdiri, menyibak-nyibakkan celananya agar tidak rusuh terkena debu. "Tak ada yang bisa dipelajari di dunia ini. Aku akan kembali lagi besok dan bermain bersamamu. Sampai jumpa!"

***

Betapa terkesimanya kau kala itu, ketika Elias bocah berusia sepuluh tahun itu pergi. Untuk pertama kalinya kau bangkit berjalan mondar-mandir di kamar sambil merenungi perkataan Elias kemarin. Tembok yang menghalangimu untuk bercengkrama di dunia luar kini perlahan-lahan runtuh hanya dengan sentuhan bocah jenius.

"Sulit dipercaya?! Siapa dia? Apa dia cenayang?" Kau memukul-mukul dinding berulang kali sampai tanganmu berdarah.

"Hai! Aku datang lagi! Sesuai janji aku akan bermain denganmu."

Kau nampak terkejut, menatap bocah itu dengan mata terbelalak. Begitu menakutkan sampai-sampai Elias menelan ludah, kakinya sempat gemetar hebat, namun ia terlihat tak gentar. Dia tetap berjalan ke arahmu dengan kotak di tangannya berwarna merah jambu di tangannya.

"KAU?! BERANINYA KAU DATANG KEMBALI?" Kau meneriaki Elias hingga terbatuk-batuk.

"PERGI DARI SINI BOCAH NAKAL! AKU TIDAK MEMBUTUHKANMU!"

"Lihat, aku membawa sisir yang kucuri dari Ibuku. Mari sini biar kusisir rambutmu."

"APA?! KAU, KAU MENCURI MILIK IBUMU?! HEH BOCAH KAU BODOH ATAU BAGAIMANA? OTAKMU DIPAKAI GAK SIH?!" Kalimat itu seakan menjadi momok bagimu. Kepalamu dihujami oleh ingatan-ingatan tentang aksi Ayah ibumu sebagai pencuri. Bahkan sampai matipun keduanya berhasil membobol bank.

Meski kau membentaknya sekali pun dia tetap memaafkan. Malah tanpa berat hati dia memelukmu dengan tulus. Hati kecilnya memang benar-benar dipenuhi buih-buih cinta kasih. Kau yang sama sekali belum pernah merasakan pun langsung membatu.  "Tidak apa, aku mengerti perasaanmu."

"Dasar Bocah Tengik," gumammu.

"Sekarang duduklah, biar aku sisir rambutmu yang mencuat-cuat itu!"

"Aku tak tahu caranya duduk."

Elias mendesah. "Sebisamu saja."

Kau pun mengangguk kikuk dan menuruti perintahnya. Seperti seorang anak yang mematuhi Ayahnya. Dirasa sudah cukup lama engkau tak merasakan yang seperti ini. Sungguh benar-benar berbeda bukan sensasinya?

"Kau mengingatkanku pada almarhum Ayahku." Kau berbisik lirih tapi Elias memiliki pendengaran yang tajam. Dia mendengarkan desauanmu meski hanya beberapa kata.

"Apa?"

"Kau menyebalkan!" ketusmu. Akan tetapi dia terbahak, menganggap makianmu sebagai tanda bahwa kau menyukainya.

"Aku mengerti, terima kasih."

Selang beberapa menit kemudian dia menyodorkan cermin padamu. Kau menerimanya dengan tangan gemetar lalu menatap dari dalam cermin. Kau terlihat berbeda, nampak lebih segar dibanding seminggu yang lalu. Bocah itu telah merubah penampilanmu semuanya---hampir semuanya. Berawal dari bola kuning yang menggelinding.

Terlintas di matamu kerlingan cahaya harapan. Begitu menyilaukan hingga kau tak sanggup membendung air mata dan jatuhlah setetes demi setetes kristal bening di atas permukaan cermin. Kau benar-benar berubah, seluruh hidupmu akan kembali seperti semula secara perlahan.

"Kau benar-benar seperti boneka, Kak," puji Elias terkagum-kagum.

"Berisik Bocah Sialan dan aku bukan kakakmu!"

Elias terkikik. "Sama-sama, kau seperti kakakku sendiri."

Pada akhirnya kau menghela napas gusar, tak dapat menahan diri dengan bocah laki-laki jenius ini. Hatinya benar-benar kuat seperti baja mau bagaimana pun engkau mencaci dan menyemprot, dia tetap mengulas senyum hangat. Tanpa sekalipun membalas atau merengek seperti anak-anak lain.

Kau pun berjongkok di depannya, membingkai kedua pipinya, serta menatap bocah itu serius. "Elias, kau bukanlah bocah biasa. Tak dapat kutemukan anak sepertimu, kebaikan hatimu menyadarkan hati nuraniku. Saatnya aku mengatakan kebenarannya, apa kau siap?"

"Aku siap dengan segala konsekuensinya, Kak."

"Bagus, kalau begitu lihatlah ke atas. Kau menemukan sesuatu?"

Elias menuruti perintahmu, dia sama sekali tidak terlihat terkejut saat mendapati mayat remaja perempuan menggantung dan mulai membusuk. Lalat-lalat berterbangan mengitarinya sekaligus menumbuhkan bibit baru untuk calon larva.

Akan tetapi lagi-lagi bocah laki-laki itu tidak berteriak maupun menjerit histeris dilihat dari ekspresinya. Dia terlihat tenang seolah tanpa beban. Lalu kau pun melanjutkan cerita.

"Sehari setelah upacara pemakaman Ayah dan ibuku, para warga memporak-porandakan rumah ini. Mereka begitu murka mengingat apa yang diperbuat orang tuaku semasa hidupnya Aku mencoba menghentikannya tapi aku justru ditangkap dan diikat di pohon besar itu sambil di ambang keputusasaan."

"Lalu?"

Kau mengambil jeda sejenak. "Kehadiranku tidak diterima di desa ini malah orang-orang sekitar menganggapku buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Daripada aku berkelana tanpa tahu arah dan diasingkan ke lain daerah, aku memutuskan mengakhiri hidup. Agaknya belakangan ini jiwaku tak bisa menyusul Ayah dan Ibu. Aku terperangkap dan makin tersesat."

"Jadi?" Elias penasaran.

"Untuk menebus dosa Ayah dan Ibu izinkan aku menjagamu sampai jiwaku dapat kembali. Karena akan ada banyak hal buruk yang menimpa bocah istimewa sepertimu. Kau akan kuanggap selayaknya adik sendiri. Apa kamu berkenan, Elias?"

"Terima kasih, Kak. Dengan senang hati aku menerima, Kakakku yang baik. Kau tidak sejahat yang  kukira."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun