Mohon tunggu...
Rininda Mahardika
Rininda Mahardika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi bukanlah jalan untuk memperoleh kesenangan serta mengisi waktu luang belaka. Hobi merupakan ruang untuk menampung segala skill non akademis di setiap insan. Tidak peduli kau suka menulis ataupun menggambar. Semuanya akan menjadikan pundi-pundi uang atau bahkan media pembelajaran bagi siapa saja yang mengasahnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merayakan Kematian(ku)

27 November 2022   02:00 Diperbarui: 27 November 2022   11:08 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pinterest

Hingga pada akhirnya suara berat dari pria yang tak kau kenal menyapa. “Caroline Rave’N, Caroline Waltz, Caroline Hawten...agaknya kau tidak memiliki nama belakang.”

“Tidak, semenjak aku dikembalikan ke panti asuhan sembilan kali.”

“Tiga hari, enam jam. Waktu yang tersisa 3 hari 6 jam.” Ia mengulangi ucapannya.

Sedangkan rasa penasaranmu mulai mengalihkan semua nyeri di sekujur tubuh. Kau membuka selimut dan melihat pria yang mengajakmu berbicara. Pria misterius itu tinggi dan jakung, mengenakan setelan jas rapi, di kepalanya terdapat topeng kambing, ia juga membawa sebuah pulpen beserta buku tebal yang berjudul ‘Little Human List’ di tangannya.

Kau pun terkikik, perutmu serasa digelitiki ribuan kupu-kupu, dan akhirnya gelak tawa keluar dari kerongkonganmu. Sambil diiringi gelagak tawa kau menyebutnya, “Pria Bertopeng Aneh! Kupikir kau dokter atau semacamnya hahaha lucu sekali!”

Dia bergeming, hanya menatapmu tanpa menyunggingkan senyum maupun ekspresi. Kau pun kesal dengan sikapnya yang biasa-biasa saja meski kau telah menertawakannya. “Sebenarnya siapa kau? Apa kau orang yang diutus Suster payah itu untuk merawatku?”

“Kedatanganku hanya untuk memastikan apa kau bahagia? Sebelum aku benar-benar menjemputmu.”

“Mengapa?!” tanyamu antusias.

“Apa kau bahagia?” ulangnya lagi.

Kau membuang muka. “Tidak, bahkan aku tidak tahu apakah aku bahagia. Dunia adalah neraka bagi anak kecil sepertiku. Ketika aku lahir, aku tak tahu siapa ayah dan ibuku apalagi aku anak yang sakit-sakitan. Jelas saja mereka membuangku lagipula siapa yang mau merawat gadis lemah?”

Kau tertawa hambar, jelas sekali terukir rasa sakit dari caramu menunjukkan ekspresi kepada orang lain. Lalu kau melanjutkan ceritamu. “Di usiaku yang keenam, aku sering mendapat perlakuan buruk oleh teman sebaya ... menyedihkan bukan? Hei kenapa kau tidak menangis?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun