Jakarta, 16 Juli 2025– Di jantung Kota Jakarta, tepatnya di Kecamatan Menteng, berdiri sebuah rumah tua yang menyimpan kenangan kelam sekaligus heroik dalam sejarah bangsa. Museum Sasmitaloka Jenderal Dr. A.H Nasution, yang dulunya merupakan kediaman sang jenderal, kini menjadi saksi bisu peristiwa G30S/PKI yang mengguncang Indonesia. Keheningan rumah ini justru menyuarakan gaung perjuangan dan tragedi yang tak terlupakan.
Setiap sudut ruangan di museum seolah berbicara, membangkitkan kembali ingatan akan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah bangsa. Keberadaan patung-patung di dalamnya menambah kesan nyata, seakan membawa pengunjung menyaksikan secara langsung detik-detik upaya penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal A.H. Nasution oleh pasukan Tjakrabirawa dalam peristiwa G30S/PKI. Meski gagal menculik sang jenderal, peristiwa tragis itu merenggut nyawa putri keduanya, Ade Irma Suryani Nasution, serta ajudannya, Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean.
Mahardhika, selaku pengunjung, mengaku sangat tersentuh saat menyusuri setiap sudut rumah tersebut.
“Tempat ini terasa begitu hening, tetapi penuh cerita. Setiap ruangan menyimpan memori kelam dan jejak perjuangan besar. Saya bisa membayangkan betapa tegang dan tragisnya malam saat peristiwa G30S terjadi. Perasaannya campur aduk—antara haru, duka, dan rasa hormat yang mendalam,” ujarnya.
Museum ini memang masih mempertahankan suasana otentik rumah dinas Jenderal Nasution. Bapak Sunardi, selaku pengelola Museum Sasmitaloka, menegaskan bahwa merawat bangunan tua yang dibangun sejak 1923 bukan perkara mudah.
“Tantangannya sangat besar karena bangunan ini didirikan pada masa kolonial Belanda dan usianya sudah sangat tua. Perawatannya harus dilakukan dengan sangat teliti,” ujar Sunardi, selaku pengelola Museum Sasmitaloka Jendral Dr. A.H Nasution. Ia menambahkan, jika ada bagian yang perlu diperbaiki, bahan bangunan yang digunakan harus disesuaikan dengan kualitas aslinya agar keaslian tetap terjaga.
Salah satu ruang yang paling menarik perhatian pengunjung adalah kamar tidur Jenderal Nasution. Di ruangan inilah terjadi upaya pembunuhan oleh pasukan Tjkrabirawa yang menewaskan putri beliau, Ade Irma Suryani.
“Selain itu, ada juga dinding monumental tempat Pak Nas menyelamatkan diri. Saat hendak melompat ke Kedutaan Besar, beliau ditembak, tetapi tidak terkena. Akhirnya beliau terjatuh, dan kaki beliau membentur pot bunga dari besi di balik dinding hingga kakinya retak,” jelas Sunardi.
Pengelolaan yang cermat dan penceritaan sejarah yang kuat, Museum Sasmitaloka tidak hanya menjadi tempat mengenang masa lalu, tetapi juga pengingat bahwa sejarah adalah bagian dari jati diri bangsa.
“Awalnya saya hanya tahu kisah perjuangan Jenderal Nasution dari buku atau internet. Tapi setelah ke sini, saya jadi lebih paham dan bisa membayangkan suasananya saat itu. Sejarah nya terasa lebih nyata,” ujar Mahardhika.
Sebagai bagian dari perjalanan sejarah nasional, Museum Sasmitaloka Jenderal A.H. Nasution kerap menjadi tujuan edukatif bagi pelajar, mahasiswa, maupun wisatawan yang tertarik pada sejarah bangsa. Sejumlah sekolah dan institusi menjadikan kunjungan ke museum ini sebagai agenda rutin guna menanamkan nilai-nilai kebangsaan sejak dini.
Selain menyimpan nilai historis, museum ini juga menawarkan kekayaan arsitektur bergaya kolonial yang khas. Bangunan bercorak Indische dengan langit-langit tinggi, ventilasi besar, serta taman yang luas menciptakan nuansa klasik yang mengajak pengunjung seakan kembali ke masa lalu. Penataan ruang yang tetap mempertahankan posisi dan fungsi aslinya memperkuat kesan autentik, menjadikan museum ini berbeda dari kebanyakan museum pada umumnya.
Lebih dari sekadar tempat mengenang tragedi, Museum Sasmitaloka Jenderal A.H. Nasution merepresentasikan simbol keteguhan hati, keberanian, serta semangat juang seorang pahlawan nasional yang tak gentar menghadapi ancaman nyawa. Jenderal Abdul Haris Nasution bukan hanya berhasil selamat dari upaya penculikan dan pembunuhan dalam peristiwa kelam G30S/PKI, tetapi juga terus menunjukkan komitmennya terhadap bangsa dengan tetap mengabdi dan melanjutkan perjuangan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kini, rumah yang dahulu menjadi lokasi percobaan pembunuhan tersebut tidak sekadar berdiri sebagai bangunan bersejarah, melainkan sebagai monumen hidup yang menyuarakan kisah perjuangan dengan cara yang sunyi, namun menggugah. Di tengah hiruk-pikuk dan modernisasi ibu kota, Museum Sasmitaloka berdiri tenang di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, seolah menjadi penjaga ingatan kolektif bangsa atas peristiwa yang pernah mengguncang negeri. Dinding-dindingnya menyimpan cerita, lantainya merekam jejak langkah, dan setiap sudutnya menjadi ruang refleksi tentang betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan.
Museum ini tidak hanya berperan sebagai wadah dokumentasi sejarah, melainkan juga sebagai jembatan emosional yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Ia menjadi ruang pembelajaran yang memungkinkan generasi muda memahami secara langsung jejak-jejak perjuangan para pahlawan, tidak hanya lewat teks buku, tetapi melalui pengalaman visual dan emosional yang nyata. Melalui museum ini, nilai-nilai seperti patriotisme, keteguhan, dan rasa cinta tanah air dapat diwariskan secara lebih mendalam dan menyentuh. Museum Sasmitaloka bukan sekadar penyimpan kenangan, melainkan penjaga warisan nilai yang membentuk identitas dan karakter bangsa Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI