Mohon tunggu...
Eyok Elabrorii
Eyok Elabrorii Mohon Tunggu... Penulis - penulis fiksi

Penulis yang mencintai blues dan air mineral.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tugu, Thames, Platonis

16 April 2021   15:31 Diperbarui: 16 April 2021   15:49 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber https://www.zapmeta.ws/Painting London/Now

Kau tahu Selong? Kota yang memiliki taman di tengahnya? Dulu. Dulu sekali. Aku pernah bertemu seseorang di sana. Bangku-bangku kayu yang berhadap-hadapan di sana seperti saling memandang dan tak akan dapat menyapa. "Kau tahu apa yang aku suka dari taman ini?" Demikian dia pernah bertanya.

"Aku tak tahu,"

"Tugu itu.

"Kenapa?"

"Tugu itu selalu kita gunakan sebagai tempat bertemu."

"Hanya itu?"

"Memang tidak ada lagi."

Dia memegang tanganku lalu menyandarkan pipinya di pundakku. Jika sudah begitu, -aku masih sangat hafal- dia tidak akan melepaskan aku untuk terus berjalan mengelilingi taman.

"Rumasi, aku takut."

"Apa yang kau takutkan?"

"Kita."

Aku pasti diam. Sebab aku mengerti akan ke mana arah bicaranya. Aku selalu berbahagia menerima ajakannya untuk bertemu di taman itu. Atau lebih tepatnya, aku selalu berbahagia menjadikan waktu malu-malu untuk berlalu dengan cerita-cerita yang dia habiskan denganku, seolah aku bukan orang lain, seolah aku bukan orang asing.

"Kita selamanya akan begini, kan?"

"Iya, akan selalu,"

Aku pasti tersenyum, "Kalau begitu kau tidak perlu takutkan apapun."

Sampai di sini, aku harus berhenti melanjutkan cerita. Wajahmu sudah mulai mendung. Kau membuang wajah ke London Eye yang bercahaya. Kapal dengan dek terbuka yang kita tumpangi bergerak lamban sekali, seperti tidak hendak mengusaikan Thames yang romantis. "Kenapa kau diam?" Kau tetap menatap Ferris Wheel. "Tidak apa-apa aku melanjutkan ceritanya?" Kau tetap diam. "Angeline, aku ingin kau benar-benar mengenalku." Kau menatapku, "Lanjutkan, tidak apa-apa."

Lalu kulanjutkan ceritaku...

Dia akan menyeretku untuk duduk di hadapan beberapa swagger yang sedang bermain skate board. Lagi-lagi, belum bisa aku lupa caranya menatapku. Matanya yang sayu itu seperti hendak ikut bicara.

"Pacarmu lambat laun akan tahu soal kita. Dan aku takut." Terus terangnya.

"Kalau begitu aku juga takut. Pacarmu lambat laun akan tahu soal kita."

"Kita selamanya akan begini, kan?"

"Iya, akan selalu,"

Dia meniru caraku tersenyum, "Kalau begitu kau tak perlu takutkan apapun,"

Sampai seusai wisuda, satu tahun lalu, aku datang ke sini. Negrimu, Angeline. Dan aku bertemu denganmu. Terus terang aku menyukaimu, tidak seperti terhadapnya. Aku merasakan sesuatu yang berbeda, seperti ketika aku pertama kali bertemu dengan pacarku dahulu. Pada kelas pertama itu, sebuah keberuntungan yang sangat aku memungutkan pulpenmu yang bergelinding tepat ke bawah bangku yang aku duduki, begitulah pertama kali kau dan aku berkenalan. Dan soal dia, aku tak tahu apa-apa lagi. Sebab sebelum aku meninggalkan Selong, dia mengatakan akan dilamar oleh pacarnya yang selalu jadi bahan pembicaraannya di taman denganku. Sementara aku lagi-lagi harus meminta pacarku bersabar untuk menunggu. "Sepertinya sekarang aku tidak akan kuat lagi," demikian lepas pacarku di bandara.

Angeline, aku belum paham kenapa kau terus menatap bianglala yang disebut-sebut terbesar dan tertinggi di Eropa itu. Mengapa tak kau nikmati saja udara London yang segar dari sungai ini sambil -barangkali- menggenggam tanganku.

"Apa lagi yang mau kau ceritakan dari taman itu, Rumasi?" Kau bertanya.

Ah, Angeline. Taman itu adalah tempat menyenangkan sekaligus menyedihkan buatku. Di taman itu aku tahu bahwa dia sangat mencintai pacarnya (itu aku tahu ketika dia memelukku sambil mengatakan bahwa dia sangat merindukan pacarnya). Tapi aku juga berbahagia sebab itu berarti hubunganku dengan pacarku tidak akan terganggu. Sebab dia hanyalah teman cerita.

"Angeline, banyak sekali yang ingin aku ceritakan. Tapi aku tidak tahu harus menceritakannya seperti apa."

"Dan bagaimana dengan pacarmu?"

Aku diam. Tiba-tiba kota dan lampu-lampu seperti hendak tenggelam. Kenapa kau harus bertanya tentang pacarku. Pacarku telah seperti mata London yang menatap kita dari atas Thames (yang hanya menatap tanpa perasaan, lebih-lebih akan marah, sebab aku masih ingat apa yang diucapkannya di bandara).

"Kenapa kau diam?"

"Barangkali cinta memang harus seperti ini, Angeline."

"Maksudmu?"

"Teman ceritaku di taman itu menikah dengan pacarnya. Kau akan sulit mempercayaiku. Dan aku akan sulit terlepas dari bayangan pacarku."

"Aku tetap tidak mengerti."

"Angeline", aku menggenggam tanganmu, "Aku benar-benar ingin kau mengenaliku". Kau tidak membalas genggamanku, namun juga tidak berusaha melepaskannya. Kau juga tidak tersenyum. "Kau masih baru di sini. Kau juga belum mengenalku". Ah, mata birumu itu, Angeline. Aku jadi gagal memepedulikan apa yang kau katakan. Bahkan aku tidak berusaha menanyakan, apakah kau baru saja menolak keinginanku untuk mendekatkan diri denganmu.

"Apakah kau masih mencintainya?"

-Sekarang aku mencintaimu-

Sungguh, jawaban seperti itu yang ingin aku ucapkan. Tapi taman Selong yang pemalu juga sungai Thames yang lugu agaknya sama saja. Seperti cinta yang harus seperti ini.

Selong, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun