"Ah, tidak apa-apa. Tidak-apa apa, mbak."
"Boleh saya ambil surat itu lagi?"
Dia cepat-cepat menyodoriku suratmu lagi, "Nggak jadi dikirim?" Aku diam, lalu menulis tiga bait puisi di amplop surat itu,
"pada suratku yang tak
pernah aku kirim, tergeletak
hatiku yang mengering."
Kububuhi tanda tanganku di kertas yang tadi disediakan petugas pos itu. Aku menyerahkan keduanya bersamaan. Petugas pos itu membaca puisi yang kutulis. Dia menatapku. "Terimakasih sudah ceritakan sedikit tentang pacar mbak itu," katanya dengan suara lebih halus dari sebelumnya. "Terimakasih sudah mendengarkan," mata kami bertemu sebentar,
"Puisi ini mbak yang bikin?"
"Itu puisi Aslan Abidin," jawabku memberikan senyum, berbalik kemudian.*
Lombok Timur, 2021