Namun, sayangnya aku tidak menikmati terlalu lama kebahagiaan dan kebanggaanku itu. Kini aku merasa hampa hidup dalam gemilang kesemarakan Badan Bahasa. Kini aku hanya bisa duduk di belakang meja, menulis tulisan yang tidak bermutu.
Oh kakakku Kartini… aku ingin Engkau tahu bahwa aku ingin selalu dapat hadir di kantor tepat waktu, pukul 07.30, seperti pegawai lain. Aku ingin Engkau tahu bahwa aku ingin menulis makalah berkualitas yang menghasilkan poin tinggi untuk penilaian LIPI. Aku ingin Engkau tahu bahwa aku ingin meraih cita-citaku menjadi pengajar bahasa Indonesia di negeri orang. Aku ingin Engkau tahu bahwa aku juga ingin jadi karyawan sehat, ikut senam yoga, dan ikut senam aerobik agar bisa ikut lomba senam sehat, lomba gerak jalan, dan lomba-lomba lain.
Teringat ceritamu dulu, kisah perempuan pingitan itu ….
Gadis itu kini telah berusia 12,5 tahun. Waktu telah tiba baginya untuk mengucap selamat tinggal pada masa kanak-kanak. Dan meninggalkan bangku sekolah, tempat dimana ia ingin terus tinggal. Meninggalkan sahabat-sahabat Eropah-nya, di tengah mana ia selalu ingin terus berada.
Ia tahu, sangat tahu bahkan, pintu sekolah yang memberinya kesenangan yang tak berkeputusan telah tertutup baginya. Berpisah dengan gurunya yang telah mengucap kata perpisahan yang begitu manis. Berpisah dengan teman-teman yang menjabat tangannya erat-erat dengan air mata berlinangan.
Dengan menangis-nangis ia memohon kepada ayahnya agar diijinkan untuk turut bersama abang-abangnya meneruskan sekolah ke HBS di Semarang. Ia berjanji akan belajar sekuat tenaga agar tidak mengecewakan orang tuanya. Ia berlutut dan menatap wajah ayahnya. Dengan berdebar-debar ia menanti jawab ayahnya yang kemudian dengan penuh kasih sayang membelai rambutnya yang hitam.
‘Tidak!’ jawab ayahnya lirih dan tegas.
Ia terperanjat. Ia tahu apa arti ‘tidak’ dari ayahnya.
Ia berlari. Ia bersembunyi di kolong tempat tidur. Ia hanya ingin sendiri dengan kesedihannya.
Dan menangis tak berkeputusan.
Telah berlalu! Semuanya telah berlalu! Pintu sekolah telah tertutup di belakangnya dan rumah ayah menerimanya dengan penuh kasih sayang. Rumah itu besar. Halamannya pun luas sekali. Tetapi begitu tebal dan tinggi tembok yang mengelilinginya.”