Sangihe, sebuah pulau kecil di perbatasan Sulawesi Utara dan Filipina, telah lama hidup damai dengan alamnya. Di sini, masyarakatnya tidak hanya bertahan hidup, tetapi berkembang bersama sagu---tanaman yang telah menjadi lebih dari sekadar sumber pangan. Sagu bukan hanya makanan; ia adalah simbol kemandirian, ketahanan, dan warisan leluhur.
Namun, ancaman besar kini menghantui kehidupan mereka. Bukan ancaman kelaparan atau bencana alam, melainkan tambang emas raksasa yang berpotensi menghancurkan seluruh ekosistem, termasuk keberadaan sagu.
Robert Sapile, 63 tahun, menebang pohon sagu baruk di kebun belakang rumahnya di Kalagheng, Tabukan Selatan, Kepulauan Sangihe, Sabtu (19/10/2024). Sagu baruk, kerabat aren yang berasal dari genus Arenga, merupakan panganan primadona bagi warga kabupaten berjuluk Negeri Sanger tersebut.
Embo Obe, panggilan akrab Robert, memotong batang sagu yang baru ia tebang menjadi bagian-bagian lebih kecil. Itu dilakukan agar memudahkan pengangkutan ke tempat pengolahan sagu.
Dari Alam ke Meja Makan
Embo Obe lalu memanggul potongan batang sagu dari kebun menuju tempat pengolahan sagu yang sama-sama berada di belakang rumahnya. Selain sagu baruk, ada juga sagu duri yang tumbuh sendiri tanpa ditanam.
"Bibit sagu duri disebarkan oleh burung-burung yang hidup di sini. Alam sudah memberi kami makan. Bisa dibayangkan kalau [ekosistem] alam ini rusak oleh tambang emas," kata Embe Obe.
Selanjutnya, Embo Obe mencacah potongan batang sagu menggunakan mesin. Alat modern digunakan untuk mempermudah dan mempercepat proses produksi sagu.
Sagu tahan terhadap perubahan iklim ekstrem, menjadikannya tanaman yang tak tergantikan di tengah krisis pangan global. Ketika pandemi COVID-19 melanda dan jalur pasokan pangan terhenti, sagu menjadi penyelamat, menggantikan beras dalam bantuan pangan yang diberikan kepada warga.
Embo Obe menyaring sagu menggunakan air bersih yang bersumber dari Gunung Sahendaruman. Selain sumber mata air, kawasan hutan lindung Sahendaruman menjadi habitat burung langka dan berfungsi sebagai peredam bencana alam.
Embe Obe dan istrinya, Lisbet Tuminting (65), mengambil endapan sagu yang sudah bisa diolah menjadi makanan ke dalam baskom. Satu pohon sagu bisa menghasilkan lima karung dengan berat masing-masing 20 kilogram.