Mohon tunggu...
Evelyn Asrila Sare
Evelyn Asrila Sare Mohon Tunggu... Lainnya - Bunda Ev

Saya adalah seorang 'guru' bagi anak-anak dengan ruang kelas tanpa sekat. Bersama berproses dan kami menemukan kebahagiaan dalam tiap hal yang kami pelajari. Saya belumlah seorang penulis namun terus berjuang untuk menulis. Bukan bertujuan untuk menjadi seorang penulis namun saya berharap ada jejak kebaikkan yang bisa saya bagi untuk orang-orang yang membaca tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menemui Maaf

15 Agustus 2021   08:18 Diperbarui: 15 Agustus 2021   08:22 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.wallpaperbetter.com/

Aku kembali menyusuri tiap lekuk jalannya. Sudah banyak pepohonan yang ditebang. Beberapa semakin menua. Waktu telah berlalu begitu cepat sejak pertengkaran itu yang membuatku memutuskan meninggalkan kampung halaman. 

Keegoanku menantang keegoannya. Dan aku tak mau kalah. Aku tak mau kalah dari mama ku.  Mama yang selalu memaksaku menjadi seperti yang ia mau. Seperti saat ini. Akupun harus pulang karenanya. 

Ku regangkan otot-ototku yang kaku oleh karena posisi tidurku yang sama sekali tak nyaman. Perjalanan ini adalah perjalanan terlama yang aku lalui. Sebelumnya, aku bahkan pernah pergi ke tempat terjauh di ujung timur. Namun perjalanan kali ini, jauh lebih melelahkan. Aku lelah oleh kenangan yang menyertai perjalananku.  

Aku lelah oleh penolakanku untuk kembali ke sini. Entahlah, mengapa hari ini aku merasa persediaan keberanianku telah mencapai targetnya. Aku telah mengumpulkannya bertahun lamanya untuk berdamai dengan masa laluku.

Aku ingat saat sedang menyusun barang-barang yang akan ku bawa,  Mira anakku menyampaikan keinginnya untuk turut dalam perjalanan ini. Namun tangisnya tak jua meluluhkan hatiku. Aku berangkat sendirian.

Sejujurnya, aku tak ingin Mira mengetahui alasan aku tak mengenalkannya pada keluargaku. Keluarganya juga. Aku belum bisa memastikan, apakah Mira akan diterima atau tidak dalam keluargaku. Aku tak ingin ada kenangan buruk yang akan terekam dalm memorinya, jika kami mengalami penolakan. 

Bis telah sampai di gerbang desa ku, lalu berhenti di depan sebuah bangunan rumah sederhana di pinggir jalan. Ku pandangi sekeliling. Bayangan masa kecilku menyeruak. Sampai pada satu titik aku terpaku. Sosok yang ku rindu, Kakakku, menyongsong kedatanganku.

"Dia menantimu. Dia telah menantimu selama ini,"  kata-kata itu yang pertama terlontar dari mulut kakakku. Bibir ku kelu. Aku bingung harus mengatakan apa. Pikiranku penuh oleh rencana tentang bagaimana aku akan memulai percakapan dengan mama. Namun demikian aku mengikuti saja saat kakakku menuntun aku memasuki rumah kami. Rumah masa kecilku. 

Langkah ku terhenti di ruang tamu yang dahulunya sering aku gunakan untuk bermain congklak bersama mama. Air mataku menetes. Aku berusaha untuk tetap kuat. Ku pandangi wajah perempuan paruh baya itu. Ia tersenyum padaku. Matanya masih sama seperti dahulu. Lembut namun tegas. 

Pengalaman hidup dan perjuangannya yang tak mudah jelas tergambar pada kerutan wajahnya. Ia membesarkanku dan ke dua kakakku. Menyekolahkan kami seorang diri, ketika suami yang dicintainya tewas saat bekerja. Dia sendirian, tanpa warisan apapun dari suaminya yang hanyalah seorang tukang bangunan. 

Sebidang tanah satu-satuya peninggalan Bapakku disulapnya menjadi kebun sorgum. Pangan yang saat itu tidak dipandang oleh masyarakat. Ia tak malu saat banyak warga mencemooh usahanya yang ternyata kemudian mampu membantu kami keluar dari keterpurukan.

Saat menatapnya, saat itu juga kekuatanku hilang. Seluruh tubuhku merasa sangat perih tidak hanya hatiku. Penyesalan bertahun lamanya mulai menyesaki dadaku. Aku ambruk ke tanah di hadapannya.

 "Maafkan aku, Ma!" seruku tercekat sambil menantapnya. Ia terus tersenyum. Tanpa kata. Hanya memandangku.

Aku mulai terisak.

"Aku merindukan mama. Aku telah menikah. Bukan dengan  Bian, Ma. Bian meninggalkanku dalam pelarian kami. Persis seperti yang mama bilang. Ia tidak mencintaiku, Ma. Aku terlalu naf diusia muda ku, Ma. Aku tak pernah mendengarkan Mama. Maafkan aku." Dalam tangisan histeris aku terus meluapkan semua yang ingin ku katakan selama ini tanpa sekalipun berani menatap wajahnya.

"Aku tahu mungkin sudah terlambat. Tapi Ma, tolong maafkan aku," kataku mengiba.

Aku merasa sebuah pelukan hangat memelukku. Kakakku memelukku dengan erat lalu mengangkatku berdiri. Aku memeluk kakaku dengan erat. Aku rindu kebersamaan kami. Aku rindu dia yang selalu menjagaku. Aku rindu padanya yang selalu mengutamakan aku. Yang memberi semua bagian jajannya untukku. Yang tak pernah tega melihatku menangis.

"Mama telah memafkanmu. Bahkan sejak pertama kali ia menyadari,  kau dan  Bian telah pergi  meninggalkan desa kita. Mama menderita oleh perasaan bersalah. Mama menyadari betapa ia terlalu keras padamu. Mama merasa gagal membuatmu menyadari bahwa ia berusaha melindungimu."

Tangisku makin menjadi-jadi. Ada luka yang merembeskan darah di ujung hatiku. "Lihatlah lilin di hadapan potretnya ini. Sebelum kematiannya ia telah berpesan agar lilin ini terus bernyala, hingga kau datang. Ia yakin, anak bungsu kesayangannya, putri kecilnya, akan datang dan kembali ke rumah ini. 

Seandainya ia mampu, kakak yakin, akan ia lawan sakit ini dan bertahan menantimu. Namun semua sudah jadi kehendak semesta. Kami menantimu datang untuk penguburannya. Namun kau menunda untuk datang karena katamu belum siap saat itu. Hampir saja aku berteriak agar kau sadar, kau dipanggil karena mama telah tiada." Suara kakakku mulai tercekat. Aku merasakan kepedihannya. Ia menarik nafasnya, lalu melanjutkan.

 "Saat itu, aku hanya berjuang memenuhi permintaan Mama. Mama telah memintaku berjanji, untuk tidak mengatakan padamu jika suatu waktu kelak, ia telah pergi. Ia ingin kau datang dengan keyakinan bahwa ia masih ada. Karena ia selalu ada dan selalu menantimu kembali." Tangis kakaku pecah.

"Kakak, maafkan aku." Ku rangkul dengan erat kakaku. 

Dalam hati sekali lagi aku berkata, "Mama, maafkan aku." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun