Mohon tunggu...
Evelyn Asrila Sare
Evelyn Asrila Sare Mohon Tunggu... Lainnya - Bunda Ev

Saya adalah seorang 'guru' bagi anak-anak dengan ruang kelas tanpa sekat. Bersama berproses dan kami menemukan kebahagiaan dalam tiap hal yang kami pelajari. Saya belumlah seorang penulis namun terus berjuang untuk menulis. Bukan bertujuan untuk menjadi seorang penulis namun saya berharap ada jejak kebaikkan yang bisa saya bagi untuk orang-orang yang membaca tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menemui Maaf

15 Agustus 2021   08:18 Diperbarui: 15 Agustus 2021   08:22 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.wallpaperbetter.com/

Sebidang tanah satu-satuya peninggalan Bapakku disulapnya menjadi kebun sorgum. Pangan yang saat itu tidak dipandang oleh masyarakat. Ia tak malu saat banyak warga mencemooh usahanya yang ternyata kemudian mampu membantu kami keluar dari keterpurukan.

Saat menatapnya, saat itu juga kekuatanku hilang. Seluruh tubuhku merasa sangat perih tidak hanya hatiku. Penyesalan bertahun lamanya mulai menyesaki dadaku. Aku ambruk ke tanah di hadapannya.

 "Maafkan aku, Ma!" seruku tercekat sambil menantapnya. Ia terus tersenyum. Tanpa kata. Hanya memandangku.

Aku mulai terisak.

"Aku merindukan mama. Aku telah menikah. Bukan dengan  Bian, Ma. Bian meninggalkanku dalam pelarian kami. Persis seperti yang mama bilang. Ia tidak mencintaiku, Ma. Aku terlalu naf diusia muda ku, Ma. Aku tak pernah mendengarkan Mama. Maafkan aku." Dalam tangisan histeris aku terus meluapkan semua yang ingin ku katakan selama ini tanpa sekalipun berani menatap wajahnya.

"Aku tahu mungkin sudah terlambat. Tapi Ma, tolong maafkan aku," kataku mengiba.

Aku merasa sebuah pelukan hangat memelukku. Kakakku memelukku dengan erat lalu mengangkatku berdiri. Aku memeluk kakaku dengan erat. Aku rindu kebersamaan kami. Aku rindu dia yang selalu menjagaku. Aku rindu padanya yang selalu mengutamakan aku. Yang memberi semua bagian jajannya untukku. Yang tak pernah tega melihatku menangis.

"Mama telah memafkanmu. Bahkan sejak pertama kali ia menyadari,  kau dan  Bian telah pergi  meninggalkan desa kita. Mama menderita oleh perasaan bersalah. Mama menyadari betapa ia terlalu keras padamu. Mama merasa gagal membuatmu menyadari bahwa ia berusaha melindungimu."

Tangisku makin menjadi-jadi. Ada luka yang merembeskan darah di ujung hatiku. "Lihatlah lilin di hadapan potretnya ini. Sebelum kematiannya ia telah berpesan agar lilin ini terus bernyala, hingga kau datang. Ia yakin, anak bungsu kesayangannya, putri kecilnya, akan datang dan kembali ke rumah ini. 

Seandainya ia mampu, kakak yakin, akan ia lawan sakit ini dan bertahan menantimu. Namun semua sudah jadi kehendak semesta. Kami menantimu datang untuk penguburannya. Namun kau menunda untuk datang karena katamu belum siap saat itu. Hampir saja aku berteriak agar kau sadar, kau dipanggil karena mama telah tiada." Suara kakakku mulai tercekat. Aku merasakan kepedihannya. Ia menarik nafasnya, lalu melanjutkan.

 "Saat itu, aku hanya berjuang memenuhi permintaan Mama. Mama telah memintaku berjanji, untuk tidak mengatakan padamu jika suatu waktu kelak, ia telah pergi. Ia ingin kau datang dengan keyakinan bahwa ia masih ada. Karena ia selalu ada dan selalu menantimu kembali." Tangis kakaku pecah.

"Kakak, maafkan aku." Ku rangkul dengan erat kakaku. 

Dalam hati sekali lagi aku berkata, "Mama, maafkan aku." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun