Aku kembali menyusuri tiap lekuk jalannya. Sudah banyak pepohonan yang ditebang. Beberapa semakin menua. Waktu telah berlalu begitu cepat sejak pertengkaran itu yang membuatku memutuskan meninggalkan kampung halaman.Â
Keegoanku menantang keegoannya. Dan aku tak mau kalah. Aku tak mau kalah dari mama ku. Â Mama yang selalu memaksaku menjadi seperti yang ia mau. Seperti saat ini. Akupun harus pulang karenanya.Â
Ku regangkan otot-ototku yang kaku oleh karena posisi tidurku yang sama sekali tak nyaman. Perjalanan ini adalah perjalanan terlama yang aku lalui. Sebelumnya, aku bahkan pernah pergi ke tempat terjauh di ujung timur. Namun perjalanan kali ini, jauh lebih melelahkan. Aku lelah oleh kenangan yang menyertai perjalananku. Â
Aku lelah oleh penolakanku untuk kembali ke sini. Entahlah, mengapa hari ini aku merasa persediaan keberanianku telah mencapai targetnya. Aku telah mengumpulkannya bertahun lamanya untuk berdamai dengan masa laluku.
Aku ingat saat sedang menyusun barang-barang yang akan ku bawa, Â Mira anakku menyampaikan keinginnya untuk turut dalam perjalanan ini. Namun tangisnya tak jua meluluhkan hatiku. Aku berangkat sendirian.
Sejujurnya, aku tak ingin Mira mengetahui alasan aku tak mengenalkannya pada keluargaku. Keluarganya juga. Aku belum bisa memastikan, apakah Mira akan diterima atau tidak dalam keluargaku. Aku tak ingin ada kenangan buruk yang akan terekam dalm memorinya, jika kami mengalami penolakan.Â
Bis telah sampai di gerbang desa ku, lalu berhenti di depan sebuah bangunan rumah sederhana di pinggir jalan. Ku pandangi sekeliling. Bayangan masa kecilku menyeruak. Sampai pada satu titik aku terpaku. Sosok yang ku rindu, Kakakku, menyongsong kedatanganku.
"Dia menantimu. Dia telah menantimu selama ini," Â kata-kata itu yang pertama terlontar dari mulut kakakku. Bibir ku kelu. Aku bingung harus mengatakan apa. Pikiranku penuh oleh rencana tentang bagaimana aku akan memulai percakapan dengan mama. Namun demikian aku mengikuti saja saat kakakku menuntun aku memasuki rumah kami. Rumah masa kecilku.Â
Langkah ku terhenti di ruang tamu yang dahulunya sering aku gunakan untuk bermain congklak bersama mama. Air mataku menetes. Aku berusaha untuk tetap kuat. Ku pandangi wajah perempuan paruh baya itu. Ia tersenyum padaku. Matanya masih sama seperti dahulu. Lembut namun tegas.Â
Pengalaman hidup dan perjuangannya yang tak mudah jelas tergambar pada kerutan wajahnya. Ia membesarkanku dan ke dua kakakku. Menyekolahkan kami seorang diri, ketika suami yang dicintainya tewas saat bekerja. Dia sendirian, tanpa warisan apapun dari suaminya yang hanyalah seorang tukang bangunan.Â