Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menjadi Guru Bukan Sekadar Profesi, tapi Pilihan untuk Mencintai yang Tak Selesai

21 Juli 2025   20:47 Diperbarui: 22 Juli 2025   18:41 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi guru bukan tentang gelar atau gaji, tapi tentang keberanian untuk mencintai mereka yang datang dalam bentuk yang belum utuh.

Kami Mengajar Anak, Bukan Angka

Beberapa waktu lalu, saya membaca kutipan dari seorang guru di media sosial:

Kami mengajar anak-anak, bukan angka.

Kalimat sederhana itu menghentak saya. Di tengah hiruk-pikuk pendidikan yang penuh target dan akreditasi, saya kembali diingatkan bahwa menjadi guru bukan hanya profesi yang tertulis di ID card, tapi pilihan untuk menghadirkan hati. Untuk mencintai sesuatu yang seringkali tidak rapi, tidak langsung tampak hasilnya, namun justru di sanalah letak maknanya.

Mengapa Menjadi Guru Itu Pilihan Hati, Bukan Sekadar Pekerjaan?

Menjadi guru adalah memeluk kekurangan murid, lalu percaya bahwa mereka tetap bisa tumbuh.

Saya tidak pernah benar-benar bercita-cita menjadi guru. Dulu saya pikir dunia pendidikan terlalu kaku, terlalu sarat dengan regulasi. Tapi hidup punya caranya sendiri. Ia membawa saya ke ruang-ruang kelas kecil di sebuah desa, bersama anak-anak berseragam lusuh, dengan tawa renyah dan mata yang memantulkan rasa ingin tahu yang tulus.

Di sana, saya jatuh cinta. Bukan pada sistem, tapi pada manusia di baliknya.

Anak-anak itu datang dengan latar belakang yang tidak mudah. Ada yang masih kesulitan membaca meski duduk di bangku SMP. Ada yang tak pernah membawa buku karena harus membantu orang tuanya di ladang. Ada pula yang lebih banyak diam dan menunduk daripada berbicara. Tapi dari merekalah saya belajar tentang sabar, tentang harapan, dan tentang mencintai tanpa syarat.

Ini Bukan Tentang Sukses yang Instan, Tapi Tumbuh yang Pelan

Guru sering kali dituntut untuk menghasilkan "output" yang bisa diukur: nilai ujian, rapor, ranking. Tapi bagaimana cara mengukur keteguhan hati seorang anak yang tetap datang ke sekolah meski perutnya kosong? Bagaimana kita menghitung keberanian anak yang akhirnya membaca satu paragraf di depan kelas setelah berminggu-minggu memilih diam?

Menurut data Kemendikbudristek 2024, lebih dari 40% anak di daerah 3T masih menghadapi kesulitan belajar karena keterbatasan fasilitas dan tenaga pengajar.

Maka cerita ini bukan tentang kemajuan yang dramatis, melainkan tentang satu huruf yang bisa ditulis anak hari ini. Tentang satu senyum yang muncul setelah ia merasa berhasil. Tentang seorang guru yang duduk lebih lama di samping muridnya hanya untuk memastikan ia tidak menyerah. Karena kami tidak bekerja untuk hasil cepat, tapi untuk pertumbuhan yang diam-diam.

Guru Juga Manusia: Lelah, Ragu, dan Kadang Ingin Menyerah

Saya pernah merasa gagal. Pernah menangis diam-diam di ruang guru setelah tahu salah satu murid dikeluarkan karena bolos berhari-hari. Saat itu saya merasa tak cukup berarti baginya. Mungkin saya terlambat hadir di hidupnya. Tapi kemudian, murid lain datang dan bertanya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun