Minggu lalu, saya duduk di pojok kelas yang sunyi setelah para siswa pulang. Di papan tulis masih tertinggal jejak kapur, angka-angka pecahan dan satu kalimat pendek:Â
Hidup itu belajar, tapi jangan lupa hidup juga harus dirayakan.Â
Kalimat itu bukan dari saya, tapi dari seorang siswa kelas XI yang menulisnya diam-diam sebelum meninggalkan ruang.
Saya membacanya berulang kali, lalu tersenyum. Entah mengapa, kalimat itu menampar dan memeluk saya di saat yang bersamaan. Ia mengingatkan saya bahwa pendidikan bukan hanya soal menyampaikan materi atau mengejar nilai, tetapi tentang merayakan proses tumbuh bersama: guru dan murid, pengajar dan pembelajar, pendidik dan manusia.
Ketika Guru Pun Belajar
Selama ini kita terlalu sering memandang guru sebagai sumber segala jawaban, seolah-olah mereka telah selesai belajar. Padahal, saya sendiri berkali-kali merasa gagal memahami murid, salah menyampaikan maksud, bahkan kehabisan cara untuk membuat pelajaran bermakna. Tapi justru dari situ saya belajar bahwa pendidikan adalah ruang dialog, bukan monolog.
Suatu hari, saya meminta siswa membuat jurnal reflektif tentang apa yang paling mereka sukai dan paling mereka takutkan dari sekolah. Seorang siswa menulis:Â
Saya suka belajar kalau gurunya bisa diajak ngobrol. Tapi saya takut ditertawakan kalau jawabanku salah.
Saya membaca kalimat itu lama sekali. Ia membuat saya sadar bahwa anak-anak tidak sedang menunggu kita menjadi sempurna, mereka hanya ingin didengar dan dihargai.
Makna Pendidikan yang Sering Terlupakan
Seperti yang pernah diungkapkan Ki Hajar Dewantara, "Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri." Pendidikan sejatinya tidak boleh mematikan kodrat itu hanya karena tuntutan angka dan standar.
Kita hidup di era di mana pendidikan sering kali disederhanakan menjadi angka: nilai ujian, ranking kelas, akreditasi sekolah. Dalam tekanan itu, murid bisa kehilangan rasa ingin tahunya, dan guru pun bisa kehilangan semangatnya.
Menurut UNICEF dalam laporan The State of the World's Children 2021 yang membahas kesehatan mental anak, ditemukan bahwa secara global, 1 dari 7 anak usia 10 - 19 tahun mengalami gangguan mental, termasuk stres yang disebabkan oleh tekanan akademik dan ekspektasi sosial. Data ini memberi gambaran bahwa sistem pendidikan yang kompetitif bisa berdampak serius terhadap kesejahteraan emosional anak.
Pernahkah kita bertanya: untuk siapa sebenarnya sekolah ini dibangun? Untuk siapa kurikulum itu disusun? Apakah pendidikan yang kita jalankan betul-betul berpihak pada murid?