Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ayah Bukan Figuran: Tolong, Ini Bukan Sinetron 90-an!

16 Juli 2025   07:46 Diperbarui: 16 Juli 2025   07:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah bukan hanya nama di Kartu Keluarga. Ia adalah ruang yang mestinya selalu bisa didatangi anak, tanpa takut. (Pexels)

Masihkah ayah jadi figuran di rumahnya sendiri? Ini bukan sinetron lawas. Ini kenyataan hari ini. Dan ini adalah ajakan bukan sekadar kritik untuk berhenti menjadikan sosok ayah hanya sebagai latar buram dalam kehidupan anak-anaknya.

Karena di balik keheningan seorang ayah, bisa jadi ada luka yang diwariskan secara diam-diam. Dan di balik diamnya, ada permohonan yang tak pernah sempat diucapkan:

Ajari aku menjadi hadir, meski dulu aku tak pernah diajari bagaimana caranya.

Ayah dan Iklan Susu: Mengapa Narasinya Masih Klise?

Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah iklan susu formula. Seorang ayah duduk santai membaca koran, sementara ibunya pontang-panting mengejar anak kecil yang rewel.

Saya sempat tertawa kecil. Tapi lalu diam. Ada rasa getir yang menyusup pelan.

Kenapa visual semacam ini masih bertahan di tahun 2025? Narasi iklan itu seperti fragmen masa lalu yang lupa pensiun. Seolah dunia belum cukup berkembang untuk menampung ayah yang bisa menggendong tanpa merasa kehilangan wibawa, atau mengganti popok tanpa takut dibilang kehilangan maskulinitas.

Padahal dunia anak-anak hari ini jauh lebih kompleks. Dan mereka tidak butuh tokoh hantu di rumah. Mereka butuh manusia bernama "Ayah" yang bisa disentuh jiwanya.

Indonesia dan Luka Sunyi Bernama "Fatherless Country"

Kita hidup di tanah yang subur, tapi menyimpan ironi yang sunyi: Negeri dengan tingkat fatherlessness yang tinggi.

Bukan karena ayahnya tidak ada, tapi karena kehadirannya seperti bayangan jam lima sore: ada, tapi tak pernah jelas.
Ayah menjadi nama dalam Kartu Keluarga, tapi jarang hadir dalam ingatan harian anak-anak.

Kehadiran ayah dapat memberikan stimulus kognitif yang berbeda dari ibu. Ayah yang hadir secara emosional meningkatkan kesejahteraan mental anak. - Kompas.id

Namun, budaya maskulinitas yang beku mengikat banyak laki-laki pada definisi lama: "Tugas saya hanya mencari nafkah."

Padahal anak tak pernah menghitung berapa besar gaji ayahnya. Mereka hanya menghitung berapa kali ayah menatap mata mereka sambil berkata: "Kamu penting."

Anak Tak Butuh Ayah Hebat. Mereka Butuh Ayah yang Hadir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun