Masihkah ayah jadi figuran di rumahnya sendiri? Ini bukan sinetron lawas. Ini kenyataan hari ini. Dan ini adalah ajakan bukan sekadar kritik untuk berhenti menjadikan sosok ayah hanya sebagai latar buram dalam kehidupan anak-anaknya.
Karena di balik keheningan seorang ayah, bisa jadi ada luka yang diwariskan secara diam-diam. Dan di balik diamnya, ada permohonan yang tak pernah sempat diucapkan:
Ajari aku menjadi hadir, meski dulu aku tak pernah diajari bagaimana caranya.
Ayah dan Iklan Susu: Mengapa Narasinya Masih Klise?
Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah iklan susu formula. Seorang ayah duduk santai membaca koran, sementara ibunya pontang-panting mengejar anak kecil yang rewel.
Saya sempat tertawa kecil. Tapi lalu diam. Ada rasa getir yang menyusup pelan.
Kenapa visual semacam ini masih bertahan di tahun 2025? Narasi iklan itu seperti fragmen masa lalu yang lupa pensiun. Seolah dunia belum cukup berkembang untuk menampung ayah yang bisa menggendong tanpa merasa kehilangan wibawa, atau mengganti popok tanpa takut dibilang kehilangan maskulinitas.
Padahal dunia anak-anak hari ini jauh lebih kompleks. Dan mereka tidak butuh tokoh hantu di rumah. Mereka butuh manusia bernama "Ayah" yang bisa disentuh jiwanya.
Indonesia dan Luka Sunyi Bernama "Fatherless Country"
Kita hidup di tanah yang subur, tapi menyimpan ironi yang sunyi: Negeri dengan tingkat fatherlessness yang tinggi.
Bukan karena ayahnya tidak ada, tapi karena kehadirannya seperti bayangan jam lima sore: ada, tapi tak pernah jelas.
Ayah menjadi nama dalam Kartu Keluarga, tapi jarang hadir dalam ingatan harian anak-anak.
Kehadiran ayah dapat memberikan stimulus kognitif yang berbeda dari ibu. Ayah yang hadir secara emosional meningkatkan kesejahteraan mental anak. -Â Kompas.id
Namun, budaya maskulinitas yang beku mengikat banyak laki-laki pada definisi lama: "Tugas saya hanya mencari nafkah."
Padahal anak tak pernah menghitung berapa besar gaji ayahnya. Mereka hanya menghitung berapa kali ayah menatap mata mereka sambil berkata: "Kamu penting."