Beberapa Lunas Tak Selalu Berarti Tuntas
Saya pernah duduk diam berjam-jam di dalam kamar hanya karena satu kalimat pendek:
Utang saya sudah lunas, Pak. Tapi saya masih tidak bisa tidur.
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut seorang murid yang sudah lulus bertahun-tahun lalu. Ia datang menemui saya bukan untuk meminta tanda tangan, bukan untuk minta surat rekomendasi. Ia hanya ingin... berbicara.
Dan yang ia bicarakan bukan soal nilai, bukan juga soal pekerjaan. Tapi soal luka. Luka yang tertinggal, lama setelah semua kewajiban ditunaikan. Termasuk utang keluarga yang dulu diam-diam membebani masa remajanya.
Beberapa utang selesai di bank. Tapi utang yang menyakitkan hati, tak pernah punya tempat pelunasan yang pasti.
Ia Bicara Tentang Luka, Bukan Nilai
Saya mengingatnya sebagai anak yang pendiam, yang dulu hampir tak pernah bicara di kelas. Tapi hari itu, ia bicara banyak.
Tentang masa SMA yang membuatnya merasa kecil. Tentang guru yang pernah mempermalukannya karena tak mampu membayar uang praktik. Tentang teman yang menertawakannya karena sepatu bolong dan baju olahraga pinjaman.
Ia bicara sambil menunduk. Tapi saya tahu, yang berbicara bukan hanya mulutnya. Ada semacam suara yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Suara luka.
Saya benci sekolah dulu, Pak. Bukan karena pelajarannya. Tapi karena saya merasa nggak dianggap manusia."
Dan semua rasa itu, katanya, berakar dari hal yang tak pernah bisa ia pilih: utang keluarga yang jadi beban diam-diam di punggungnya.
Bukan kemiskinan yang paling menyakitkan, tapi rasa malu yang tumbuh di antara tawa teman dan tuntutan guru.
Apakah Semua Luka Harus Bernama?
Setelah ia pergi, saya terdiam lama. Mungkin lebih lama daripada waktu ia bercerita. Di dalam diam itu, saya bertanya dalam hati:
Kenapa kita sering merasa bahwa dengan menyelesaikan utang, maka segalanya beres?
Bahwa dengan membayar seragam, melunasi SPP, atau menyerahkan raport, semua emosi akan selesai?
Padahal ada luka-luka yang tidak terletak di dompet. Ada bekas yang tidak bisa dihapus dengan kuitansi. Ada rasa yang membeku lama setelah angka 0 tercetak di kartu tagihan dan setelah utang keluarga itu lunas di atas kertas, tapi tidak di dalam perasaan.
Tak semua yang lunas berakhir damai. Kadang, angka nol di kuitansi hanya menutupi hati yang masih terluka.