Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Utangnya Lunas, Tapi Luka di Hati Masih Tersisa

15 Juli 2025   21:53 Diperbarui: 15 Juli 2025   21:53 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Remaja termenung di ruang kelas kosong melambangkan luka batin yang tertinggal meski utang keluarga telah lama dilunasi. (Pexels)

Beberapa Lunas Tak Selalu Berarti Tuntas

Saya pernah duduk diam berjam-jam di dalam kamar hanya karena satu kalimat pendek:

Utang saya sudah lunas, Pak. Tapi saya masih tidak bisa tidur.

Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut seorang murid yang sudah lulus bertahun-tahun lalu. Ia datang menemui saya bukan untuk meminta tanda tangan, bukan untuk minta surat rekomendasi. Ia hanya ingin... berbicara.

Dan yang ia bicarakan bukan soal nilai, bukan juga soal pekerjaan. Tapi soal luka. Luka yang tertinggal, lama setelah semua kewajiban ditunaikan. Termasuk utang keluarga yang dulu diam-diam membebani masa remajanya.

Beberapa utang selesai di bank. Tapi utang yang menyakitkan hati, tak pernah punya tempat pelunasan yang pasti.

Ia Bicara Tentang Luka, Bukan Nilai

Saya mengingatnya sebagai anak yang pendiam, yang dulu hampir tak pernah bicara di kelas. Tapi hari itu, ia bicara banyak.

Tentang masa SMA yang membuatnya merasa kecil. Tentang guru yang pernah mempermalukannya karena tak mampu membayar uang praktik. Tentang teman yang menertawakannya karena sepatu bolong dan baju olahraga pinjaman.

Ia bicara sambil menunduk. Tapi saya tahu, yang berbicara bukan hanya mulutnya. Ada semacam suara yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Suara luka.

Saya benci sekolah dulu, Pak. Bukan karena pelajarannya. Tapi karena saya merasa nggak dianggap manusia."

Dan semua rasa itu, katanya, berakar dari hal yang tak pernah bisa ia pilih: utang keluarga yang jadi beban diam-diam di punggungnya.

Bukan kemiskinan yang paling menyakitkan, tapi rasa malu yang tumbuh di antara tawa teman dan tuntutan guru.

Apakah Semua Luka Harus Bernama?

Setelah ia pergi, saya terdiam lama. Mungkin lebih lama daripada waktu ia bercerita. Di dalam diam itu, saya bertanya dalam hati:
Kenapa kita sering merasa bahwa dengan menyelesaikan utang, maka segalanya beres?

Bahwa dengan membayar seragam, melunasi SPP, atau menyerahkan raport, semua emosi akan selesai?

Padahal ada luka-luka yang tidak terletak di dompet. Ada bekas yang tidak bisa dihapus dengan kuitansi. Ada rasa yang membeku lama setelah angka 0 tercetak di kartu tagihan dan setelah utang keluarga itu lunas di atas kertas, tapi tidak di dalam perasaan.

Tak semua yang lunas berakhir damai. Kadang, angka nol di kuitansi hanya menutupi hati yang masih terluka.

Luka yang Tak Tercatat di Administrasi Sekolah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun