Anak-anak kita tidak sedang diberi makan. Mereka sedang diberi biskuit oleh negara yang kehabisan rasa dan mungkin, kehabisan hati. Dan ironinya, ini terjadi dalam program nasional yang diberi nama megah: Makan Bergizi Gratis (MBG).
Saat Gizi Menyusut Menjadi Biskuit
Beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh pemberitaan dari Tangerang Selatan. Ribuan siswa sekolah dasar menerima paket MBG yang tidak lagi dalam bentuk makanan siap santap, melainkan bahan mentah. Lebih jauh lagi, sebagian paket bahkan hanya berisi biskuit kemasan. Kepala satuan pendidikan pun berdalih: "Agar mudah disimpan karena anak-anak sedang libur."
Secara logika administratif, itu mungkin masuk akal. Tapi secara etika publik, ada yang janggal.
Mengapa makanan yang sedianya bergizi, seimbang, dan memperhatikan kebutuhan harian anak justru dikurangi kualitasnya menjadi biskuit?
Siapa yang memutuskan bahwa biskuit cukup menggantikan peran nasi, lauk, dan sayur?
Dan yang lebih penting: siapa yang paling diuntungkan dari perubahan format ini?
Dari Program Gizi ke Proyek Logistik
Ada perubahan mendadak dari paket makanan siap santap menjadi bahan mentah. Lalu turun lagi menjadi biskuit. Perubahan ini tidak dilandasi instruksi dari Badan Gizi Nasional. Bahkan, Dinas Pendidikan daerah mengaku tidak dilibatkan dalam keputusan tersebut.
Maka kita bertanya-tanya: mengapa sekolah mengambil alih otoritas distribusi bantuan nasional? Dan mengapa yang dibagikan bukan makanan yang benar-benar bergizi, melainkan biskuit yang jelas-jelas bukan pilihan utama untuk pertumbuhan anak?
Di sinilah muncul kecurigaan yang layak dibahas: apakah ini sekadar keputusan logistik... atau sudah menyerempet wilayah proyek pengadaan?
Bisnis di Balik Biskuit?
Biskuit adalah pilihan yang praktis bagi pengadaan: umur simpan lama, tidak perlu dimasak, mudah dikemas dan didistribusikan, bisa dibeli dari vendor dalam jumlah besar