Aku lupa kapan terakhir kali menatap mata Ibu tanpa tergesa. Rasanya sudah lama sekali sejak aku duduk di sampingnya tanpa memegang ponsel atau memikirkan deadline pekerjaan. Bahkan, sejujurnya, aku tak ingat jelas kapan terakhir kali kami tertawa bersama hanya karena hal sepele bukan karena formalitas hari raya atau video keluarga yang dikirim lewat grup WhatsApp.
Kita tumbuh. Cepat sekali. Tapi, di tengah kecepatan itu, ada satu hal yang sering kita tinggalkan: rumah pertama kita. Ibu.
Tumbuh Itu Sibuk, Tapi Kenapa Harus Lupa?
Masa kecil kita dipenuhi oleh tangan Ibu yang sigap: menyiapkan sarapan, menyisir rambut, menenangkan tangis, hingga mengantar ke sekolah. Semua begitu rutin, begitu natural, sampai kita lupa bahwa semua itu adalah bentuk cinta paling diam yang pernah ada.
Lalu kita tumbuh. Mulai mengejar nilai, prestasi, lalu karier dan pencapaian-pencapaian lain yang kita kira sebagai lambang keberhasilan. Kita sibuk menjadi orang besar, tanpa sadar semakin menjauh dari tangan yang dulu menggenggam kita erat saat demam di malam hari.
Ironisnya, di saat kita merasa berhasil, kita juga semakin jarang pulang. Kadang hanya menelpon saat butuh sesuatu. Kadang lupa ulang tahun Ibu. Bahkan ada yang tak lagi menyimpan fotonya di dompet, karena katanya semua sudah pindah ke cloud storage.
Ibu Itu Tak Pernah Minta, Tapi Selalu Ada
Lucunya, Ibu tak pernah benar-benar marah. Ia hanya bertanya pelan, "Kapan pulang, Nak?"
Dan itu cukup untuk membuat dada kita sesak.
Ibu tak pernah menghitung berapa kali ia menyuapi kita, mencuci baju kita, atau menggantikan lelah Ayah agar rumah tetap hangat. Tapi kita menghitung berapa hari libur kita, dan menjadikan itu alasan kenapa belum bisa pulang.
Ibu tetap menyimpan baju-baju kita di lemari, seolah kita bisa datang kapan saja. Ia tetap menyiapkan piring tambahan saat makan malam, padahal hanya ada Ayah di rumah.
Karena bagi Ibu, rumah bukanlah tempat. Tapi kehadiran anak-anaknya.