Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) kerap kali tidak dapat mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) karena terbentur batas usia di atas 35 tahun. Di satu sisi, pemerintah menyuarakan semangat anti-diskriminasi, terutama soal usia. Namun, pembatasan usia kerja yang diberlakukan dalam berbagai formasi CPNS justru menjadi tembok penghalang bagi banyak tenaga profesional yang telah lama mengabdi. Dalam praktiknya, kita masih menyaksikan perlakuan berbeda yang tidak sepenuhnya adil terhadap para PPPK. Apakah PPPK masih diperlakukan sebagai "warga kelas dua" dalam seleksi CPNS? Mari kita telusuri lebih dalam.
Diskriminasi Usia: Apa Kata Regulasi?
Secara resmi, larangan diskriminasi usia dalam rekrutmen pegawai negeri merupakan langkah maju yang tak bisa dipandang sebelah mata. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 mengatur batas usia maksimal pelamar CPNS, dengan pengecualian tertentu, serta menegaskan bahwa tidak boleh ada perlakuan diskriminatif berdasarkan usia yang tidak beralasan.
Ini adalah terobosan penting, terutama di tengah perubahan demografis dan kebutuhan tenaga kerja yang beragam. Bukankah kita semua sepakat, potensi dan kontribusi seseorang tidak selalu terikat oleh angka di KTP? Banyak profesional berusia di atas 35 tahun bahkan 40 tahun memiliki pengalaman dan kompetensi yang mumpuni, yang sangat dibutuhkan negara.
Namun, ketika kita menyoroti posisi PPPK dalam seleksi CPNS, muncul pertanyaan besar: Apakah perlakuan yang mereka terima sudah mencerminkan prinsip anti-diskriminasi ini? Atau malah terjadi diskriminasi terselubung yang menjadikan mereka "warga kelas dua"?
PPPK dan Perlakuan 'Kelas Dua' dalam Seleksi CPNS
PPPK merupakan salah satu solusi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pegawai di sektor publik tanpa harus melalui proses pengangkatan CPNS yang kadang sulit dan lama. Mereka adalah tenaga honorer yang diangkat dengan kontrak kerja tertentu, namun memiliki peran penting dalam pelayanan publik.
Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa dalam seleksi CPNS, PPPK seringkali mengalami perlakuan yang kurang adil. Mereka harus menghadapi syarat dan ketentuan yang lebih ketat, misalnya batas usia yang lebih rendah dibandingkan pelamar umum, atau persyaratan administrasi yang lebih rumit.
Apakah ini adil? Jika tujuan utama adalah memberikan kesempatan bagi semua warga negara tanpa diskriminasi, mengapa PPPK yang sudah berkontribusi nyata di pelayanan publik harus menghadapi penghalang tambahan?
Bisa dikatakan, PPPK seringkali menjadi "warga kelas dua" dalam konteks seleksi CPNS. Mereka bekerja dengan dedikasi, tetapi ketika kesempatan pengangkatan menjadi ASN datang, justru dibatasi oleh aturan yang seolah-olah membatasi hak mereka untuk naik kelas.
Mengapa Diskriminasi Usia Dalam Praktik Tetap Ada?
Larangan diskriminasi usia di atas kertas memang jelas, tapi mengapa praktik diskriminasi ini tetap berlangsung?
Pertama, ada ketidakkonsistenan dalam peraturan. Meski ada aturan anti-diskriminasi usia, namun batas usia maksimal pelamar CPNS bagi PPPK masih sering lebih rendah dari pelamar umum. Ini secara tidak langsung menutup peluang PPPK yang sudah berusia lebih dari batas yang ditentukan.
Kedua, persepsi masyarakat dan birokrasi terhadap PPPK juga masih kurang positif. PPPK dianggap sebagai pegawai kontrak yang statusnya belum jelas, sehingga peluang mereka dianggap "bernilai lebih rendah" dibandingkan pelamar CPNS yang baru. Padahal, apa bedanya PPPK yang sudah berpengalaman dengan pelamar baru yang belum tentu berkompeten?
Ketiga, masalah teknis dan administrasi yang kerap menjadi penghalang. Misalnya, aturan pengangkatan yang terlalu rumit, dan kurangnya pendampingan untuk PPPK dalam proses seleksi CPNS.
Ini semua menciptakan situasi yang secara sistematis membatasi akses PPPK menjadi ASN, walaupun mereka sudah menjalankan tugas negara dengan penuh tanggung jawab.
Analogi: Mengapa PPPK Layak Dipandang Setara
Bayangkan sebuah sekolah yang menerima siswa baru dengan kriteria usia maksimal 18 tahun. Namun, ada siswa lama yang sudah belajar bertahun-tahun di sekolah itu, tapi saat ujian kenaikan kelas, siswa lama ini dibatasi usianya tidak boleh lebih dari 16 tahun. Apakah ini adil? Bukankah siswa lama, yang sudah berkontribusi dan berpengalaman, harusnya mendapatkan prioritas atau paling tidak kesempatan yang setara?
Itulah yang dialami PPPK dalam seleksi CPNS. Mereka telah "bersekolah" dan bekerja lama, tapi tetap dianggap sebagai "siswa baru" dengan aturan usia yang lebih ketat dan perlakuan yang berbeda.
Diskriminasi usia yang terjadi terhadap PPPK bukan hanya soal angka semata, tapi lebih kepada pengakuan atas pengalaman dan hak yang seharusnya mereka peroleh sebagai bagian dari ASN.
Dampak Diskriminasi Usia pada PPPK dan Pelayanan Publik
Apa dampak jika diskriminasi usia terhadap PPPK ini dibiarkan terus berlangsung?
Pertama, potensi sumber daya manusia berpengalaman yang sudah mengabdi justru terbuang sia-sia. PPPK yang berkompeten dan sudah membuktikan diri tidak mendapatkan kesempatan naik kelas hanya karena aturan usia yang kaku.
Kedua, motivasi dan semangat kerja PPPK menurun. Jika kesempatan untuk menjadi ASN dianggap tertutup atau tidak setara, siapa yang tidak merasa kecil hati? Ini dapat mempengaruhi kualitas pelayanan publik secara keseluruhan.
Ketiga, ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang makin melebar. PPPK yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang beragam akan semakin sulit untuk meraih kesejahteraan dan stabilitas kerja, yang justru menjadi tujuan dari pengangkatan ASN.
Refleksi: Haruskah PPPK Tetap Diperlakukan Seperti Ini?
Membaca fakta dan kenyataan ini, kita patut bertanya: Haruskah PPPK terus diperlakukan sebagai warga kelas dua? Apakah tujuan pemerintah dalam menghapus diskriminasi usia dalam seleksi CPNS sudah benar-benar tercapai?
Mungkin sebagian akan berargumen bahwa aturan usia memang penting untuk menjaga regenerasi dan kualitas ASN. Tapi, apakah kualitas itu selalu diukur dari usia? Bukankah pengalaman dan dedikasi kerja sama pentingnya?
Mengapa kita harus memilih antara usia dan pengalaman? Bukankah keduanya bisa disinergikan untuk menghasilkan ASN yang terbaik?
Alternatif Solusi: Membangun Sistem Seleksi yang Lebih Adil
Untuk mengatasi ketimpangan ini, ada beberapa solusi yang layak dipertimbangkan:
1. Peninjauan Batas Usia bagi PPPK
Aturan batas usia bagi PPPK dalam seleksi CPNS perlu disesuaikan dengan prinsip non-diskriminasi. Jika PPPK sudah berkontribusi dan berpengalaman, batas usia sebaiknya lebih longgar atau bahkan fleksibel.
2. Pengakuan Pengalaman Kerja PPPK sebagai Nilai Tambah
Pengalaman kerja PPPK harus diakui secara eksplisit dalam proses seleksi. Ini bukan hanya soal keadilan, tapi juga efisiensi negara dalam memanfaatkan sumber daya manusia yang sudah ada.
3. Proses Seleksi yang Transparan dan Terbuka
Pemerintah perlu memastikan proses seleksi CPNS untuk PPPK berlangsung transparan, adil, dan tanpa diskriminasi terselubung. Pendampingan dan sosialisasi juga penting agar PPPK memahami dan bisa memenuhi persyaratan.
4. Penguatan Regulasi dan Pengawasan
Pengawasan ketat terhadap pelaksanaan seleksi CPNS, terutama bagi PPPK, harus ditegakkan. Jika ada aturan diskriminatif, segera diidentifikasi dan diperbaiki.
Menutup dengan Pertanyaan yang Menggelitik
Pada akhirnya, pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama: Apakah kita sudah benar-benar menegakkan prinsip keadilan dan non-diskriminasi dalam pengangkatan PNS? Ataukah PPPK masih dianggap sebagai "warga kelas dua" yang layak diperlakukan berbeda?
Jika kita ingin membangun birokrasi yang inklusif dan berkeadilan, sudah saatnya kita melihat PPPK bukan sebagai kelompok yang terpinggirkan, melainkan sebagai bagian integral dari transformasi ASN ke depan.
Sudahkah kita memberi ruang yang layak bagi mereka untuk naik kelas? Atau kita tetap memilih aturan yang mengerdilkan potensi bangsa?
Selamat merenung dan berpikir kritis tentang masa depan ASN dan peran PPPK dalam sistem kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI