Saya pernah bertanya pada diri sendiri: apakah semua tempat indah pasti menyimpan sisi gelapnya sendiri? Tapi pertanyaan itu seperti boomerang. Karena saat saya membaca berita tentang anak-anak bahkan siswa SD yang diduga terlibat dalam praktik prostitusi di Labuan Bajo, saya seperti dipukul dari dalam. Bukan karena saya merasa lebih suci atau lebih benar. Tapi karena ada sesuatu yang hancur dalam batin saya. Bukan hanya tentang mereka, tapi juga tentang kita semua yang diam-diam membiarkan ini terjadi.
Saya ingat betul perjalanan saya ke Labuan Bajo beberapa tahun lalu. Langit biru, laut jernih, senyum pemandu wisata yang ramah, dan semangat warga menyambut pelancong dari mana-mana. Semua tampak seperti surga kecil di timur Indonesia.Â
Tapi, siapa sangka, di balik senyum itu, ada anak-anak yang diantarkan setiap Jumat dengan mobil travel ke hotel-hotel. Anak-anak yang mestinya duduk di bangku sekolah, belajar menggambar matahari dan menulis cita-cita menjadi dokter, malah dibalut make-up, menyimpan rahasia gelap, dan bermain peran sebagai 'orang dewasa' di dunia yang terlalu kejam.
Saya mencoba membayangkan. Apa rasanya menjadi anak SD kelas VI yang harus berpura-pura kuat, padahal hatinya belum tahu benar mana rasa cinta, mana yang luka. Mereka lalu diantar kembali hari Minggu, berganti baju, hapus make-up, dan kembali menjadi gadis kecil polos yang siap menghadapi dunia sekolah lagi. Apakah kita menyadari betapa dalamnya luka itu? Luka yang mungkin tak terlihat di kulit, tapi membusuk di dalam.
Kadang saya bertanya, sejak kapan hidup menjadi serumit ini bagi anak-anak?
Sebuah Kehidupan yang Kita Biarkan Rusak
Tak bisa tidak, saya merasa marah. Tapi juga malu. Marah karena sistem yang gagal melindungi anak-anak. Malu karena kita semua, sadar atau tidak, ikut andil dalam kegagalan itu. Ini bukan cuma soal aparat atau orang tua. Ini tentang kita yang terlalu sibuk mengejar mimpi sendiri, sampai lupa menjaga masa depan generasi di belakang kita.
Laporan dari Kepala UPTD Dinsos NTT menyebutkan bahwa anak-anak ini terlihat "bersukacita" saat diantar ke Labuan Bajo. (Kompas.Com, 20/05/2025) Bersukacita? Apa itu sukacita sungguhan, atau sekadar topeng yang harus dipakai agar bisa bertahan? Atau mungkin karena mereka tak tahu ada dunia lain yang lebih layak untuk mereka? Kita, orang dewasa, terlalu sering menilai dari apa yang tampak. Padahal yang tampak, seringkali menipu.
Dan ketika sopir travel berkata mereka sudah menjadi "langganan," saya merasa dada saya sesak. Anak-anak ini tidak hilang dalam satu malam. Mereka dijebak perlahan oleh dunia yang mengagungkan kemewahan, menertawakan kesederhanaan, dan mendewakan gaya hidup serba instan. Dunia yang menekan mereka agar tampil 'wah' meski di dalamnya rapuh.
Gaya Hidup yang Menyesatkan
Saya tidak suci. Saya juga pernah ingin terlihat keren, pernah membandingkan diri dengan orang lain, dan merasa tidak cukup hanya karena tidak memakai barang-barang mahal. Tapi perlahan saya belajar: keinginan itu seperti lubang tak berdasar. Ia menelan apa pun, termasuk moral.
Sekarang, kita hidup di zaman ketika anak-anak belajar lebih banyak dari TikTok dan Instagram daripada dari guru atau orang tuanya. Ketika status sosial diukur dari jenis ponsel, bukan dari karakter. Ketika orang-orang desa yang tampil sederhana ditertawakan, dan mereka yang tampil glamor dipuja. Jadi tak heran kalau ada anak remaja tiba-tiba bisa beli gadget mahal, pakaian bermerk, atau sering menghilang tanpa penjelasan.
Orang tua pun kadang tidak peka. Atau, terlalu takut untuk bertanya. Atau... sudah lelah oleh beban hidup sehingga memilih percaya saja. "Mungkin anakku kerja online," katanya. "Mungkin ada yang bantu." Tapi kita tahu, mungkin yang dimaksud itu terlalu berbahaya untuk dibayangkan.
Gelapnya Pariwisata Tanpa Filter
Labuan Bajo, seperti banyak daerah wisata lain, tumbuh terlalu cepat. Terlalu megah untuk sebuah desa kecil yang belum siap. Bangunan hotel mewah naik, kapal wisata berlayar ke sana ke mari, dan orang-orang dari seluruh dunia datang membawa mata uang asing. Tapi bersamaan dengan itu, nilai-nilai yang seharusnya mengakar di tanah juga ikut tercerabut.
Kita lupa bahwa keindahan pariwisata harusnya tumbuh bersama dengan kesadaran. Bukan hanya ekonomi yang naik, tapi juga etika. Bukan hanya bangunan yang menjulang, tapi juga karakter masyarakat yang kokoh. Tapi siapa yang bisa menyalahkan masyarakat jika mereka tidak pernah disiapkan? Tidak ada edukasi, tidak ada sistem perlindungan sosial yang kuat, dan tak ada regulasi yang benar-benar diawasi.
Modus-modus seperti "menyuplai kebutuhan kapal wisata" adalah bukti bahwa eksploitasi bisa menyaru dalam bentuk apa pun. Di atas kertas, semua tampak baik-baik saja. Tapi di balik pintu kapal atau kamar hotel, mungkin ada anak kecil yang sedang kehilangan masa kecilnya.
Kita Semua Bertanggung Jawab
Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi saya tahu, diam bukan pilihan. Kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa ini hanya terjadi di tempat lain, pada anak orang lain. Karena setiap anak adalah milik kita bersama. Mereka bukan sekadar anak biologis dari sepasang orang tua. Mereka adalah bagian dari masa depan bangsa ini.
Maka kalau hari ini ada anak kecil yang harus berpura-pura bahagia saat tubuhnya dijual, itu artinya kita semua gagal. Dan kita harus minta maaf. Tapi lebih dari itu, kita harus berubah.
Apa yang bisa kita lakukan? Mungkin dimulai dari hal kecil: jangan lagi menertawakan orang yang hidup sederhana. Jangan lagi membuat gaya hidup mewah sebagai tolak ukur keberhasilan. Hentikan glorifikasi kemapanan instan. Ajarkan anak-anak untuk menghargai proses, bukan hanya hasil. Dan sebagai masyarakat, dorong kebijakan yang benar-benar melindungi anak-anak. Dorong sekolah, LSM, komunitas, bahkan tempat ibadah, untuk lebih aktif membangun kesadaran dan pendampingan.
Refleksi di Ujung Tulisan
Saya menulis ini dengan air mata yang nyaris tumpah. Karena saya juga punya anak. Dan saya tidak sanggup membayangkan jika satu hari nanti, ia harus menjadi 'produk' dari dunia yang tak sempat saya jaga.
Saya tahu saya bukan siapa-siapa. Tapi kalau tulisan ini bisa membuat satu orang saja membuka mata, itu sudah cukup. Karena perubahan besar selalu dimulai dari satu kesadaran kecil.
Anak-anak kita tidak butuh pariwisata mewah. Mereka butuh masa kecil yang aman, hangat, dan utuh.
Mereka tidak butuh kamera yang memotret mereka sebagai objek eksotis. Mereka butuh dunia yang tidak menjual tubuh mereka demi keuntungan.
Jika Labuan Bajo terus tumbuh tanpa arah, maka lautan biru dan hotel-hotel mewah itu tidak ada bedanya dengan ladang dosa yang memanen masa kecil anak-anak kita.
Jangan biarkan pariwisata membunuh masa kecil mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI