Orang tua pun kadang tidak peka. Atau, terlalu takut untuk bertanya. Atau... sudah lelah oleh beban hidup sehingga memilih percaya saja. "Mungkin anakku kerja online," katanya. "Mungkin ada yang bantu." Tapi kita tahu, mungkin yang dimaksud itu terlalu berbahaya untuk dibayangkan.
Gelapnya Pariwisata Tanpa Filter
Labuan Bajo, seperti banyak daerah wisata lain, tumbuh terlalu cepat. Terlalu megah untuk sebuah desa kecil yang belum siap. Bangunan hotel mewah naik, kapal wisata berlayar ke sana ke mari, dan orang-orang dari seluruh dunia datang membawa mata uang asing. Tapi bersamaan dengan itu, nilai-nilai yang seharusnya mengakar di tanah juga ikut tercerabut.
Kita lupa bahwa keindahan pariwisata harusnya tumbuh bersama dengan kesadaran. Bukan hanya ekonomi yang naik, tapi juga etika. Bukan hanya bangunan yang menjulang, tapi juga karakter masyarakat yang kokoh. Tapi siapa yang bisa menyalahkan masyarakat jika mereka tidak pernah disiapkan? Tidak ada edukasi, tidak ada sistem perlindungan sosial yang kuat, dan tak ada regulasi yang benar-benar diawasi.
Modus-modus seperti "menyuplai kebutuhan kapal wisata" adalah bukti bahwa eksploitasi bisa menyaru dalam bentuk apa pun. Di atas kertas, semua tampak baik-baik saja. Tapi di balik pintu kapal atau kamar hotel, mungkin ada anak kecil yang sedang kehilangan masa kecilnya.
Kita Semua Bertanggung Jawab
Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi saya tahu, diam bukan pilihan. Kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa ini hanya terjadi di tempat lain, pada anak orang lain. Karena setiap anak adalah milik kita bersama. Mereka bukan sekadar anak biologis dari sepasang orang tua. Mereka adalah bagian dari masa depan bangsa ini.
Maka kalau hari ini ada anak kecil yang harus berpura-pura bahagia saat tubuhnya dijual, itu artinya kita semua gagal. Dan kita harus minta maaf. Tapi lebih dari itu, kita harus berubah.
Apa yang bisa kita lakukan? Mungkin dimulai dari hal kecil: jangan lagi menertawakan orang yang hidup sederhana. Jangan lagi membuat gaya hidup mewah sebagai tolak ukur keberhasilan. Hentikan glorifikasi kemapanan instan. Ajarkan anak-anak untuk menghargai proses, bukan hanya hasil. Dan sebagai masyarakat, dorong kebijakan yang benar-benar melindungi anak-anak. Dorong sekolah, LSM, komunitas, bahkan tempat ibadah, untuk lebih aktif membangun kesadaran dan pendampingan.
Refleksi di Ujung Tulisan
Saya menulis ini dengan air mata yang nyaris tumpah. Karena saya juga punya anak. Dan saya tidak sanggup membayangkan jika satu hari nanti, ia harus menjadi 'produk' dari dunia yang tak sempat saya jaga.
Saya tahu saya bukan siapa-siapa. Tapi kalau tulisan ini bisa membuat satu orang saja membuka mata, itu sudah cukup. Karena perubahan besar selalu dimulai dari satu kesadaran kecil.
Anak-anak kita tidak butuh pariwisata mewah. Mereka butuh masa kecil yang aman, hangat, dan utuh.
Mereka tidak butuh kamera yang memotret mereka sebagai objek eksotis. Mereka butuh dunia yang tidak menjual tubuh mereka demi keuntungan.