Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Labuan Bajo dan Prostitusi Anak: Pariwisata yang Membunuh Anak Kecil

21 Mei 2025   06:45 Diperbarui: 21 Mei 2025   06:45 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Shutterstock)

Orang tua pun kadang tidak peka. Atau, terlalu takut untuk bertanya. Atau... sudah lelah oleh beban hidup sehingga memilih percaya saja. "Mungkin anakku kerja online," katanya. "Mungkin ada yang bantu." Tapi kita tahu, mungkin yang dimaksud itu terlalu berbahaya untuk dibayangkan.

Gelapnya Pariwisata Tanpa Filter

Labuan Bajo, seperti banyak daerah wisata lain, tumbuh terlalu cepat. Terlalu megah untuk sebuah desa kecil yang belum siap. Bangunan hotel mewah naik, kapal wisata berlayar ke sana ke mari, dan orang-orang dari seluruh dunia datang membawa mata uang asing. Tapi bersamaan dengan itu, nilai-nilai yang seharusnya mengakar di tanah juga ikut tercerabut.

Kita lupa bahwa keindahan pariwisata harusnya tumbuh bersama dengan kesadaran. Bukan hanya ekonomi yang naik, tapi juga etika. Bukan hanya bangunan yang menjulang, tapi juga karakter masyarakat yang kokoh. Tapi siapa yang bisa menyalahkan masyarakat jika mereka tidak pernah disiapkan? Tidak ada edukasi, tidak ada sistem perlindungan sosial yang kuat, dan tak ada regulasi yang benar-benar diawasi.

Modus-modus seperti "menyuplai kebutuhan kapal wisata" adalah bukti bahwa eksploitasi bisa menyaru dalam bentuk apa pun. Di atas kertas, semua tampak baik-baik saja. Tapi di balik pintu kapal atau kamar hotel, mungkin ada anak kecil yang sedang kehilangan masa kecilnya.

Kita Semua Bertanggung Jawab

Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi saya tahu, diam bukan pilihan. Kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa ini hanya terjadi di tempat lain, pada anak orang lain. Karena setiap anak adalah milik kita bersama. Mereka bukan sekadar anak biologis dari sepasang orang tua. Mereka adalah bagian dari masa depan bangsa ini.

Maka kalau hari ini ada anak kecil yang harus berpura-pura bahagia saat tubuhnya dijual, itu artinya kita semua gagal. Dan kita harus minta maaf. Tapi lebih dari itu, kita harus berubah.

Apa yang bisa kita lakukan? Mungkin dimulai dari hal kecil: jangan lagi menertawakan orang yang hidup sederhana. Jangan lagi membuat gaya hidup mewah sebagai tolak ukur keberhasilan. Hentikan glorifikasi kemapanan instan. Ajarkan anak-anak untuk menghargai proses, bukan hanya hasil. Dan sebagai masyarakat, dorong kebijakan yang benar-benar melindungi anak-anak. Dorong sekolah, LSM, komunitas, bahkan tempat ibadah, untuk lebih aktif membangun kesadaran dan pendampingan.

Refleksi di Ujung Tulisan

Saya menulis ini dengan air mata yang nyaris tumpah. Karena saya juga punya anak. Dan saya tidak sanggup membayangkan jika satu hari nanti, ia harus menjadi 'produk' dari dunia yang tak sempat saya jaga.

Saya tahu saya bukan siapa-siapa. Tapi kalau tulisan ini bisa membuat satu orang saja membuka mata, itu sudah cukup. Karena perubahan besar selalu dimulai dari satu kesadaran kecil.

Anak-anak kita tidak butuh pariwisata mewah. Mereka butuh masa kecil yang aman, hangat, dan utuh.

Mereka tidak butuh kamera yang memotret mereka sebagai objek eksotis. Mereka butuh dunia yang tidak menjual tubuh mereka demi keuntungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun