Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Labuan Bajo dan Prostitusi Anak: Pariwisata yang Membunuh Anak Kecil

21 Mei 2025   06:45 Diperbarui: 21 Mei 2025   06:45 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Shutterstock)

Saya pernah bertanya pada diri sendiri: apakah semua tempat indah pasti menyimpan sisi gelapnya sendiri? Tapi pertanyaan itu seperti boomerang. Karena saat saya membaca berita tentang anak-anak bahkan siswa SD yang diduga terlibat dalam praktik prostitusi di Labuan Bajo, saya seperti dipukul dari dalam. Bukan karena saya merasa lebih suci atau lebih benar. Tapi karena ada sesuatu yang hancur dalam batin saya. Bukan hanya tentang mereka, tapi juga tentang kita semua yang diam-diam membiarkan ini terjadi.

Saya ingat betul perjalanan saya ke Labuan Bajo beberapa tahun lalu. Langit biru, laut jernih, senyum pemandu wisata yang ramah, dan semangat warga menyambut pelancong dari mana-mana. Semua tampak seperti surga kecil di timur Indonesia. 

Tapi, siapa sangka, di balik senyum itu, ada anak-anak yang diantarkan setiap Jumat dengan mobil travel ke hotel-hotel. Anak-anak yang mestinya duduk di bangku sekolah, belajar menggambar matahari dan menulis cita-cita menjadi dokter, malah dibalut make-up, menyimpan rahasia gelap, dan bermain peran sebagai 'orang dewasa' di dunia yang terlalu kejam.

Saya mencoba membayangkan. Apa rasanya menjadi anak SD kelas VI yang harus berpura-pura kuat, padahal hatinya belum tahu benar mana rasa cinta, mana yang luka. Mereka lalu diantar kembali hari Minggu, berganti baju, hapus make-up, dan kembali menjadi gadis kecil polos yang siap menghadapi dunia sekolah lagi. Apakah kita menyadari betapa dalamnya luka itu? Luka yang mungkin tak terlihat di kulit, tapi membusuk di dalam.

Kadang saya bertanya, sejak kapan hidup menjadi serumit ini bagi anak-anak?

Sebuah Kehidupan yang Kita Biarkan Rusak

Tak bisa tidak, saya merasa marah. Tapi juga malu. Marah karena sistem yang gagal melindungi anak-anak. Malu karena kita semua, sadar atau tidak, ikut andil dalam kegagalan itu. Ini bukan cuma soal aparat atau orang tua. Ini tentang kita yang terlalu sibuk mengejar mimpi sendiri, sampai lupa menjaga masa depan generasi di belakang kita.

Laporan dari Kepala UPTD Dinsos NTT menyebutkan bahwa anak-anak ini terlihat "bersukacita" saat diantar ke Labuan Bajo. (Kompas.Com, 20/05/2025) Bersukacita? Apa itu sukacita sungguhan, atau sekadar topeng yang harus dipakai agar bisa bertahan? Atau mungkin karena mereka tak tahu ada dunia lain yang lebih layak untuk mereka? Kita, orang dewasa, terlalu sering menilai dari apa yang tampak. Padahal yang tampak, seringkali menipu.

Dan ketika sopir travel berkata mereka sudah menjadi "langganan," saya merasa dada saya sesak. Anak-anak ini tidak hilang dalam satu malam. Mereka dijebak perlahan oleh dunia yang mengagungkan kemewahan, menertawakan kesederhanaan, dan mendewakan gaya hidup serba instan. Dunia yang menekan mereka agar tampil 'wah' meski di dalamnya rapuh.

Gaya Hidup yang Menyesatkan

Saya tidak suci. Saya juga pernah ingin terlihat keren, pernah membandingkan diri dengan orang lain, dan merasa tidak cukup hanya karena tidak memakai barang-barang mahal. Tapi perlahan saya belajar: keinginan itu seperti lubang tak berdasar. Ia menelan apa pun, termasuk moral.

Sekarang, kita hidup di zaman ketika anak-anak belajar lebih banyak dari TikTok dan Instagram daripada dari guru atau orang tuanya. Ketika status sosial diukur dari jenis ponsel, bukan dari karakter. Ketika orang-orang desa yang tampil sederhana ditertawakan, dan mereka yang tampil glamor dipuja. Jadi tak heran kalau ada anak remaja tiba-tiba bisa beli gadget mahal, pakaian bermerk, atau sering menghilang tanpa penjelasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun