Mohon tunggu...
Evita Yolanda
Evita Yolanda Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ikrar Sumpah Dokter di Tengah Bocornya Bahtera BPJS Kesehatan

12 Agustus 2018   13:13 Diperbarui: 13 Agustus 2018   15:40 3976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kapal mengalami kebocoran dan hendak tenggelam, apa yang sebaiknya dilakukan?

Per 25 Juli lalu, BPJS Kesehatan menetapkan beleid yang merombak jaminan terhadap operasi katarak, persalinan bayi baru lahir sehat, dan rehabilitasi medik (fisioterapi).

Keputusan ini menimbulkan penolakan dan lontaran kritik baik dari masyarakat maupun Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan organisasi profesi lainnya. Mari kita ulik topik ini dari dua sisi yang berseberangan: dokter-pasien dan BPJS.

Kontroversi Beleid Sebagai Usaha Penyelamatan

Peraturan baru BPJS yang termaktub dalam Perdirjampel BPJS Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018 tersebut didasari oleh proyeksi defisit anggaran badan asuransi pelat merah ini yang menembus Rp16,5 triliun (Kompas, 2/8/2018). BPJS menilai usaha ini sebagai pencegahan tenggelamnya "kapal" BPJS.

"Program Jaminan Kesehatan Nasional harus kita selamatkan. Saat ini kita mengalami defisit dana jaminan sosial dan jika tidak melakukan efisiensi, bisa jadi kapal ini akan tenggelam."

-- dr. Budi Mohamad Arief, M.M., Deputi Direksi Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan (CNN Indonesia, 2/8/18)

Keputusan baru BPJS tersebut mengatur tentang:

  • Penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila visus (ketajaman penglihatan) mata pasien sebelum operasi kurang dari 6/18, dan jumlah operasi katarak dibatasi dengan kuota.
  • Bayi baru lahir dengan kondisi sehat pascaoperasi caesar maupun normal dengan atau tanpa penyulit dibayar dalam satu paket persalinan.
  • Tindakan rehabilitasi medik dibatasi menjadi maksimal dua kali per minggu atau delapan kali dalam sebulan.

Jaminan terhadap tiga kondisi tersebut bukan dihapuskan sama sekali, namun prioritas jaminan dipersempit, tidak lagi dijamin penuh seperti sebelumnya.

Berikut penjabarannya:

Dalam pelayanan katarak, bila ketajaman penglihatan pasien masih lebih baik dari 6/18, maka BPJS tidak menanggung biaya operasi. Ketajaman 6/18 artinya, penderita bisa melihat objek dari jarak 6 meter sedangkan mata normal dapat melihatnya dalam jarak 18 meter. Hanya ketajaman penglihatan di bawah ini yang menjadi prioritas untuk ditanggung biaya operasinya oleh BPJS.

Dalam pelayanan bayi baru lahir, singkatnya, jika bayi lahir sehat, maka biaya dibayar satu paket dengan persalinan. Jika bayi lahir memerlukan pelayanan tambahan atau sakit, maka biaya ditagih di luar paket persalinan tersebut.

Misalnya jika bayi masuk NICU, maka tidak akan ditanggung satu paket dengan persalinan. Bayi tersebut harus didaftarkan dulu menjadi peserta JKN agar bisa mendapatkan jaminan. Poin ini juga dikritik oleh Menkes bahwa tidak ada diagnosis bayi lahir sehat atau sakit. Semua bayi baru lahir punya risiko yang sama.

Dalam pelayanan fisioterapi, BPJS tetap menanggung pelayanan fisioterapi oleh dokter spesialis, namun maksimal dua kali dalam sepekan atau delapan kali dalam sebulan.

Buntut dari peraturan baru ini yang telah diberitakan di antaranya 186 RS yang menghentikan pelayanan fisioterapinya (JPNN, 28/7/2018).

Letak Kebocoran Bahtera BPJS

Ilustrasi. Sumber: www.usnews.com
Ilustrasi. Sumber: www.usnews.com

Dalam upaya menyelamatkan kapal tenggelam, berbagai manuver dilakukan BPJS. Seperti pemangkasan tiga jaminan ini yang diharapkan akan menghemat anggaran hingga Rp360 miliar (Health Detik, 31/7/2018). Bulan April lalu, jaminan terhadap obat kanker Trastuzumab dihentikan karena dianggap terlalu mahal. BPJS juga menonaktifkan perekrutan pegawai baru dan melakukan pengalihan tugas (CNN Indonesia, 3/8/2018).

Besar pasak daripada tiang, berdasarkan RKAT BPJS Kesehatan 2018, target pendapatan yaitu Rp79,77 triliun, namun beban pembiayaan mencapai Rp87,80 triliun (Kompas, 3/8/2018). Laporan keuangan pun selalu membukukan aset neto minus. Pada tahun 2014 sebesar Rp3,3 triliun, 2015 Rp5,7 triliun, 2016 Rp9,7 triliun, dan 2017 Rp10 triliun (Beritagar, Gresnews, 31/7/2018).

Belum lagi penunggakan iuran oleh peserta yang mencapai 13 juta orang, mencakup 6% dari total peserta (Health Detik, 2/8/2018).

Kebocoran pun timbul dari efek kumulatif seribu satu jenis kecurangan (fraud) seperti yang digolongkan dalam Permenkes no. 36 tahun 2015, yang berpotensi dilakukan oleh peserta, petugas BPJS, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan. Kasus  yang diungkit oleh dr. Posma B. Siahaan, Sp.PD., FINASIM dalam tulisan beliau ini menggambarkan sebagian kecil saja.

Contoh fraud yang ditemukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017, di 26 puskesmas 14 provinsi ditemukan potensi penggunaan dana kapitasi tidak sesuai UU, manipulasi bukti pertanggungjawaban dan pencairan, serta penarikan biaya yang seharusnya telah dijamin. Menurut catatan ICW, terdapat kerugian negara yang mencapai Rp5,8 miliar dari 8 kasus korupsi pengelolaan dana kapitasi puskesmas di 8 daerah (Gresnews, 31/7/2018).

Fraud yang terstruktur, sistematis, dan terjadi secara luas, juga menjadi sumber kebocoran kapal BPJS.

Terdapat tiga opsi untuk meningkatkan kapasitas keuangan BPJS, yakni penyesuaian iuran, penyesuaian manfaat, dan bantuan dana pemerintah. Namun IDI dan organisasi profesi lainnya meminta defisit BPJS seyogianya tidak dijadikan alasan untuk mengorbankan kualitas pelayanan dan kesehatan pasien.

Sumpah Dokter dan Kesehatan Penderita

Menteri Kesehatan sempat mendesak agar aturan baru ini ditunda. Bahkan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mendesak agar BPJS mencabutnya. Selain IDI,  Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)  turut menyuarakan hal yang sama.

Berikut alasannya:

Pertama, menyangkut pelayanan bayi baru lahir. Angka kematian bayi di Indonesia masih sangat tinggi bahkan bila dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara. Peraturan baru BPJS ini bertolakbelakang dengan visi untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi. Pencegahan dan penanganan optimal harus diberlakukan pada semua kelahiran, karena bayi baru lahir memiliki risiko tinggi mengalami sakit, cacat, dan bahkan kematian.

Kedua, menyangkut pelayanan katarak. Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan tingkat kebutaan tertinggi di dunia. Dengan aturan tersebut, angka kebutaan akan meningkat. Selain itu waktu tunggu pasien untuk dioperasi akan memanjang, terjadi penurunan produktivitas, dan peningkatan risiko cedera.

Ketiga, menyangkut pelayanan fisioterapi. Pembatasan fisioterapi 2 kali seminggu dinilai tidak sesuai standar pelayanan rehabilitasi medik. Hal ini mempersulit penanganan kondisi disabilitas, dan hasil terapi tidak akan maksimal.

Pembatasan jaminan ketiga pelayanan tersebut justru akan meningkatkan risiko komplikasi penyakit yang menambah beban pembiayaan ke depannya.

Keempat, memperparah konflik antara dokter, pasien, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Misalnya pada pasien katarak yang ingin menjalani operasi, dokter harus menjelaskan bahwa operasi tidak ditanggung sampai penurunan tajam penglihatan sekian dan sekian. Maka bisa dibayangkan bagaimana reaksi pasien.

Pihak fasilitas kesehatan seperti rumah sakit juga terpaksa tidak memberikan pelayanan di luar yang dijamin karena khawatir biaya pelayanan tidak bisa diklaim ke BPJS. Bila ingin tetap menggunakan pelayanan, maka pasien harus mengeluarkan biaya sendiri. Sebagai akibat, pasien bisa menganggap dokter dan rumah sakit tidak mau memberikan pelayanan.

Kelima, potensi pelanggaran sumpah dan kode etik oleh dokter.

"Dokter berpotensi melanggar sumpah dan kode etik, yaitu melakukan praktik kedokteran tidak sesuai standar profesi. Kewenangan dokter dalam melakukan tindakan medis diintervensi dan direduksi oleh BPJS. Ini berisiko meningkatkan konflik antara dokter dengan pasien, serta dokter dengan fasilitas pelayanan kesehatan."

-- Prof. dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG. (K), Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Meski klinisi dan BPJS berseberangan, yang dituju seharusnya sama, yaitu kesehatan penderita.

Mengatur jaminan kesehatan bangsa sebesar ini tidak mudah, namun berhadapan atau menjadi pihak yang menanggung akibat keputusan dari atas juga tidak mudah.

Semoga BPJS segera mencapai ekuilibrium kendali biaya dan mutu, karena para dokter sepanjang hidupnya bertanggungjawab atas sepuluh butir sumpah, dengan ikrar yang kelima berbunyi:

"Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan."

Salam hormat dan salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun