Mohon tunggu...
Alifia Nadiatun Najiiha
Alifia Nadiatun Najiiha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sebelas Maret

Nathan Arael, nama pena dari gadis introvert yang lahir pada bulan Desember 2003 di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Anak keempat dari keluarga yang luar biasa. Kebiasaan mengkhayal dan mengamati lingkungan sekitar membuatnya bertekad untuk menjadi penulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bahtera dari Kayu Curian

25 Maret 2024   00:08 Diperbarui: 25 Maret 2024   00:49 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kamu menatapnya dengan mata yang redum. Spanduk besar di pagar rumahmu, yang baru saja dipasang oleh beberapa pria berseragam, terlihat begitu jelas, membuatmu merasa candala. Beberapa pria itu akhirnya pergi, sempat pamit pada ibumu yang duduk di kursi depan dengan tatapan kosongnya.

Kamu tak perlu basa-basi menyapanya. Masuk saja ke rumah besar yang bukan lagi milik keluargamu-- baru saja dibobol oleh negara, dicuri dengan sah atas nama hukum.

“Kakak nggak perlu datang ke sidang ayah.” Suara parau ibumu sejenak menghentikan langkahmu. Kamu mengangguk menanggapi.

“Di sekolah ….” Kalimat ibumu tertahan. Dari suaranya yang bergetar, kamu paham betul beliau tengah menimang-nimang, perlukah untuk menanyakannya?

“Tidak ada apa-apa di sekolah. Ayah tidak sepopuler itu,” jawabmu pada akhirnya. Meski tidak ada pertanyaan yang benar-benar dilontarkan, raut wajah ibumu jauh lebih ringan. Kamu merasa jauh lebih baik setelah mengucapkannya.

“Dia anak koruptor?” Suara mereka yang mengenakan setelan yang sama denganmu menggaung, mendesak masuk ke telingamu. Tidak ada yang mengucapkannya dengan keras, hanya saja telingamu cukup sensitif mendengar kata yang akhir-akhir ini sering kamu dengar. Koruptor, Pencuri, Sidang, Terpidana, Penjara. Entah sudah kali keberapa, sejak wajah ayahmu muncul dalam berita terkini pada stasiun televisi besar.

“Uang bendahara sempat dia pegang, kan? Jangan-jangan ….”

“Tidak ada apa-apa di sekolah,” ulangmu lagi. Meyakinkan ibumu-- atau mungkin dirimu sendiri.

***

Akhirnya kamu dapat meletakkan punggungmu pada ranjang. Matamu bergerak ke sana kemari, memindai kamar luas yang akan kamu tinggalkan, cepat atau lambat. Beberapa hiasan yang kamu tata kini terasa seperti sandyakala, indah tapi tak bertahan lama. Bersama dengan ingatan yang kini membuatmu bertanya-tanya, bolehkah kamu mengenangnya?

Sosok ayah yang kamu ingat cukup semu, mungkin karena terlampau bahagia, kamu merasa baik-baik saja tanpanya. Bukan, kamu tidak sedang menggambarkan ketidakharmonisan keluarga, sebab ayahmu hanya jarang terlihat, bukan jahat—setidaknya dalam ingatanmu begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun