Sejak berangkat ke Jepang pekan lalu, dia lebih sering menghubungi bapaknya dari pada saya, ibunya. Ya, sejak dia keukeuh memutuskan mengisi liburan ke negri sakura sendirian, saya memilih untuk lebih banyak mendoakan saja. Membantu menyiapkan satu dua hal yang diperlukan dan membuang jauh segala kekhawatiran.
Hingga hari keenam, semua baik-baik saja. Bertemu tantenya di Yonago, menginap di Fukuoka dan mampir ke Shibuya. Sesekali dia mengirim foto di group keluarga dan hanya malam menjelang tidur dia menghubungi saya. Itupun, "Cerita panjangnya nanti ya Um. Sekarang mohon doa dan suwuk saja nggih". Lalu saya bacakan fatihah dan shalawat, saya tiup di keningnya. Bismillah, saya pasrahkan njenengan pada Yang Maha Menjaga, Nak.
::
Tadi pagi dia tilp. Sedang mendaki gunung Fuji, Â merasa sangat pusing. Kabarnya dia harus berbaring beberapa saat untuk mendapat pertolongan. Saya? Tentu sangat sangat cemas. Saya ingin menangis. Tapi ketenangannya membuat saya klakep.
Suaranya parau, "Mohon doakan Mas nggih Um. Alhamdulillah, Allah selalu mempertemukan dengan orang baik. Ini sudah ada yang memberi oksigen untuk terus saya hirup. Mohon doa, Um. Tinggal 400 meter lagi sampai puncak. Mas sudah sholat safar tadi, barusan dhuhur dan sholat hajat. InsyaAllah tak putus baca shalawat, Um. Mohon doa nggih".
Ya, L dan D selalu optimis. Saya belajar banyak dari anak-anak kami. Saya belajar banyak pada anak ragil kami. Saya juga belajar banyak pada anak sulung kami ini. Kalau sudah punya cita-cita dan rencana, selalu fokus. Sejak kecil dia lebih sering mengucap kalimat baik dan kata positif. Meski teliti dan penuh perhitungan, tapi dia juga tawakkal. Kedewasaannya sering mengalahkan saya, ibunya.
Saya jadi malu. Saya yang nyaris mengatakan, "Kan sudah dilarang naik Fuji, Nak. Ayo segera turun lagi, tak perlu sampai puncak", urung. Buru-buru saya menutup mulut. Menarik nafas panjang, "Bismillah. Gusti Allah akan selalu menjaga panjenengan, Nak. Semoga kuat sampai puncak. Tapi ukur kekuatan ya, sayang. Begitu turun, segera istirahat nggih".
"Mohon doa ya, Um. Boleh suwuk?". Sekali lagi saya bacakan fatihah dan shalawat. U'idzuka bikalimatillahi taammati minsyarri ma kholaq. Bismillahil ladzi laa yadzurru ma'as mihi syai'un fil ardli wala fis sama'i wahuwas sami'ul alim. Saya tiup keningnya. Salam, saya tutup hape.
Sambil menahan isak, saya kirim WA ke kakak-kakak dan beberapa sahabat, mohon agar dibantu doa. Doa para santri beliau-beliau yang sedang menuntut ilmupun, insyaAllah makbul.
::
Beberapa jam kemudian dia mengirim foto di group WA. Mengirimkan dua surat cinta, untuk saya dan bapaknya. Juga untuk adiknya.
"Alhamdulillah. Mimpi masa kecil Mas L telah tercapai, Dik. Mas telah berhasil mendaki gunung Fuji, Jepang. Semoga suatu saat kita bisa kesini bersama Aby dan Umy ya Dik Dany El Harisy. Tetap semangat dan pede ya Dik".
Lalu cling, satu foto lagi terkirim. Sedang mengibarkan bendera merah putih. Saya tersenyum, bahagia. Ah, andai engkau membawa bendera NU juga, Nak :)
::
Malam ini kami tak berhasil menghubunginya. Mungkin batre hapenya habis. Sesaat tadi saya menatap langit dari jendela kamar. Menerbangkan segala keresahan. Melantunkan kembali doa-doa terbaik.
"Bismillah. Semoga Gusti Allah selalu menjaga pajenengan, Mas Lavy El Harisy. Selalulah sehat nggih. Tetaplah bahagia, Nak. Salam sayang dari kami".
.
- Bataranila, 25.07.2019 -