Bab 5
Ray
Rahadi Sugara baru saja selesai sholat maghrib di pondokannya. Ali Nurdin sedang menyenandungkan ayat -- ayat Al Qur`an yang membuat suasana senja sangat syahdu dan menentramkan. Sugara meneguk kopi pahitnya.
Bayangan tentang segala hal yang gelap di tahun -- tahun belakangan masih membuat hatinya membiru, menyisakan kesedihan yang hanya disimpan dalam hatinya. Jika seseorang mengamatinya lekat -- lekat, kesedihan itu terlukis jelas di binar matanya.
Yang lucu tentang kelompok pemerhati hutan ini adalah bahwa mereka tak sungguh -- sungguh saling kenal satu sama lain.
 Mereka hanya saling memanggil dengan nama panggilan dan tak pernah saling menunjukkan kartu identitasnya. Mereka berasal dari seluruh Indonesia dan tak memiliki tim yang tetap sehingga bisa saja setiapkali mereka menjadi relawan, mereka akan dipasangkan dengan anggota tim yang selalu berganti.Â
Namun Sugara merasa Alisia dan Ali Nurdin berjodoh dengannya di hutan sebab sudah ketiga kali mereka berjumpa dalam tugas sukarelawan ini.
Alisia, gadis cantik itu pernah menanyainya mengapa dia bergabung menjadi penjaga hutan. Atau darimana asalnya. Apakah dia pernah memimpikan tersesat di sebuah hutan atau menangisi binatang tak berdosa yang kehilangaan habitatnya karena eksploitasi hutan di luar batas.
Sugara terdiam sesaat, menyusun kata -- kata yang akan diucapkannya di depan gadis yang hanya dikenalnya sebagai anggota tim survivor selama mereka menjelajah hutan dan alam bebas.
 Ini sedikit aneh sebab sejak bertahun -- tahun Sugara tak merasa seantusias ini mempunyai teman bicara.
"Aku suka alam bebas." jawab Sugara klise.Â