Mohon tunggu...
Amri MujiHastuti
Amri MujiHastuti Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan Sekolah Dasar

Pengajar, Ibu, pemerhati pendidikan anak

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Gendis Sugar", Mencari Perlindungan

9 Maret 2019   06:28 Diperbarui: 9 Maret 2019   06:36 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bab 2

Hujan rintik -- rintik di luar. Alisia Gendis Yahya membiarkan jendela kamarnya terbuka. Angin berderu liar menerbangkan daun -- daun dan ranting kering memaksa seekor tupai meloncat menghindari hantamannya. Kilatan petir membentuk cemeti putih di langit malam.


Sudah hampir dua tahun Gendis bertahan sebagai orang yang menumpang di rumah om Riko dan Tante Eveline. Gendis sudah nyaris percaya bahwa dia telah dibuang oleh keluarganya. Air matanya menitik deras di pipinya dan hidungnya basah. Dengan kesal Gendis mengelap air matanya dengan kertas tisu.


Itulah malam saat mas Bayu muncul dan mengabarkan bahwa kedua orang tua mereka mengalami kecelakaan dalam sebuah penerbangan pulang untuk menemui putri bungsunya yang telah dua tahun dititipkan.


Gendis tak dapat mengerti berita itu pada awalnya. Saat Bayu berdiri di pintu rumah om Riko dan tante Eveline, Gendis masih berpikir bahwa keluarganya akhirnya menjemputnya untuk membawanya pulang.


Meskipun om Riko dan tante Eveline tak pernah mengabaikannya, tapi dari hari ke hari Gendis semakin merasakan perlakuan yang jauh berbeda dari sikap mereka sebelumnya kepadanya. 

Dulu dia adalah gadis putri teman dekat mereka yang hanya akan dititipkan selama sebulan, tapi setelah waktu berlalu hingga dua tahun tanpa kabar berita dari keluarganya untuk menjemputnya pulang, Gendis merasa om Riko dan tante Eveline menjadi lelah terhadapnya.


Gendis dititipkan hanya dengan sekoper pakaian. Hidup dan matinya tak diperhitungkan. Zach juga sudah sejak awal menganggap seolah Gendis tak ada. Dia tak pernah memperlakukan Gendis dengan baik atau buruk. Dia hanya mengabaikannya saja.


Gendis histeris mendengar berita kematian orang tuanya. Mas Bayu juga mengatakan bahwa Sekar ikut dalam kecelakaan itu dan saat ini memerlukan pengobatan yang intensif. Om Riko dan Tante Eveline melipat tangan mereka dengan kening berkerut dan mulut melongo mendengar semua kabar buruk itu.


Sekar bertahan dengan bantuan alat -- alat medis. Setelah sebulan koma dan keadaannya tak membaik dan malaikat penolong mereka yaitu om Riko dan tante Eveline sudah terlalu banyak mengeluarkan uang untuk biaya rumah sakit Sekar, kakak perempuan Gendis itu menghembuskan napas terakhirnya.


Masa berkabung telah lewat. Gendis ingat bahwa dia berharap om Pramana, tante Halimah, mbak Sukini dan Sugara akan datang menemuinya namun mereka tak pernah muncul. Mungkin mereka memang sudah tak mengingatnya lagi.

 Yang tak diketahui Gendis adalah bahwa saat itu Sugara tengah menjalani operasi untuk menghilangkan tanda lahir di wajahnya dan setelahnya Sugara menolak untuk datang ke rumah Om Riko dan tante Eveline yang mengaku sebagai orang tua kandungnya dan ingin membawanya tinggal bersama mereka meninggalkan ayah dan ibu yang selama ini diketahui Sugara.


Selang sebulan kemudian Sugara datang diantar oleh orang tuanya untuk menjenguk Gendis yang sedang berduka.Namun mereka tak dapat menemukannya di sana sebab Bayu membawanya pergi.


"Kemana Bayu membawa Gendis?" 

Pramana sangat terkejut dan mukanya pucat pasi mengetahui bahwa anak almarhum sahabatnya dibiarkan pergi begitu saja oleh satu -- satunya orang yang mereka kenal dan kepada siapa orang tua mereka menitipkan mereka.


"Dia tak bilang." Endriko menjawab pendek.


"Bagaimana mungkin kau biarkan Bayu membawanya tanpa punya tujuan?"


"Bayu itu saudara kandungnya dan Bayu bukan anak kecil lagi. Dia laki -- laki dewasa dan sudah menyelesaikan pendidikannya. Aku yakin mereka bisa bertahan hidup sendiri."


"Tapi kita membawa wasiat orang tuanya, kita berjanji mengembalikan rumah dan tanah milik keluarganya. Kita tak bisa menelantarkan mereka."


"Rumah dan perkebunan itu sudah menjadi milik kita, kita sudah membayar lunas bahkan lebih."


"Uang itu kita pinjamkan, bukan uang sebagai pembayaran kita membeli properti mereka."


"Aku tak mau berdebat denganmu lagi, Pram. Aku tak butuh apapun dari mereka. Itulah akibatnya jika sepanjang hidupmu kau hanya tahu tentang cangkul dan kebun. Aku tak mengambil milik orang lain, hanya mengambil yang menjadi hak kita."


"Hak kita katamu?" Pramana mengulangi ucapan abangnya dengan sinis. Membuat Endriko mengeluarkan sumpah serapah.


"Jangan anggap dirimu suci dan aku kotor. Kita berdua sama saja. Kau ingat saat papa masih hidup, papa ingin kau tak hanya menjadi petani tapi kau tersinggung lalu kau meminta pada keluarga Yahya agar diizinkan tinggal dan mengolah tempat mereka. Aku mengambil tempat itu karena memikirkan kepentinganmu. 

Kalau tempat itu kau berikan pada orang lain, memangnya kau mau tinggal di mana?" ejek Endriko sambil mengeluarkan kekehan yang sumbang.


Sugara mendengar percakapan antara ayah kandung dan ayah Pramana di luar ruang kerja ayah kandungnya dan sejak itu dia tahu hubungannya dengan Gendis takkan pernah bisa sama lagi seperti dulu.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun