Sejak akhir tahun 2021, pemeriksaan kasus pidana korupsi alih fungsi kawasan  ditingkatkan statusnya dari tahap penyelidikan ke penyidikan, sesuai Surat Perintah Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara Nomor : Printa-16/L.2/Fd.1/11/2021 tanggal 30 November 2021, dengan menetapkan Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng dan Imran, S.PdI. sebagai tersangka.
    Tindak lanjutnya, Tim Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sumut melakukan penggeledahan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Langkat, dan Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Sumatera Utara, berdasarkan Surat Penetapan Pengadilan Negeri (PN) Medan Nomor : 1/PGD/PID.SUS-TPK/2022/PN.MDN. Penggeledahan dilakukan untuk mencari barang bukti tambahan dalam rangka mengembangkan proses penyidikan.
     Bergerak dengan pasti dan terukur, Kejati Sumut pun kemudian melakukan penyitaan terhadap sebidang lahan tanah  seluas 105,9852 hektar di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, pada Selasa (8/11/2022). Penyitaan ini berdasarkan Penetapan PN. Medan Kelas IA Nomor: 39/SIT/PID.SUS-TPK/2022/PN.MDN tanggal 14/10/2022 tentang Dugaan Tindak Pidana Korupsi Alih Fungsi Kawasan Hutan SM. Karang Gading Langkat Timur Laut, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, yang pada pokoknya memberikan izin kepada Penyidik Pidsus Kejati Sumut untuk melakukan penyitaan tanah tersebut.
     Kemudian, barang bukti berupa tanah yang merupakan areal kebun sawit dititip rawat kepada Balai Besar KSDA Sumatera Utara untuk dilakukan pengawasan sesuai Berita Acara Penitipan Barang Bukti tertanggal 8/11/2022.
     Setelah melalui proses persidangan, akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Medan dalam sidang Senin (11/08/2025), memutuskan bahwa kedua terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi alih fungsi kawasan SM. Karang Gading Langkat Timur Laut, dan oleh karena itu  terhadap terdakwa Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng serta terdakwa Imran, S.PdI dijatuhi hukuman pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh)  tahun, dan denda sebesar Rp. 1 Milyar, dengan ketentuan apabila tidak membayar denda tersebut dikenakan hukuman pengganti (subsider) selama 3 (tiga) bulan kurungan.
     Selain itu, khusus kepada terdakwa Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa kewajiban  membayar Uang Pengganti (UP) kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara sebesar Rp. 797,6 Miliar. Apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah) terdakwa tidak membayar uang pengganti, maka harta kekayaannya akan disita. Dan jika harta tersebut juga tidak mencukupi, diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun.
     Putusan Majelis Hakim ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang sebelumnya menuntut untuk dijatuhi  pidana  terhadap kedua terdakwa dengan pidana penjara selama 15 (lima belas)  tahun, dan denda sebesar Rp. 1 miliar dengan ketentuan apabila tidak membayar denda dikenakan hukuman pengganti (subsider) 6 (enam) bulan kurungan, yang dibacakan dalam sidang Kamis (19/6/2025).
     Demikian pula kewajiban membayar Uang Pengganti (UP) kerugian keuangan dan perekonomian negara, yang oleh JPU dituntut sebesar Rp. 856.807.945.550,- Apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap terdakwa tidak membayar uang pengganti, maka harta kekayaannya akan disita. Dan jika harta tersebut juga tidak mencukupi, diganti dengan pidana penjara selama 7 tahun 6 bulan.
      Keduanya menurut Majelis Hakim, secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan pelanggaran Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
     Penerapan dan penegakkan hukum ini tentunya  menjadi alat yang ampuh bukan hanya memberi efek jera bagi pelaku, tetapi juga menjadi jalan untuk melegitimasi  pengakuan status pemilikan dan pengelolaan kawasan oleh negara melalui Balai Besar KSDA Sumatera Utara serta pengembalian fungsinya seperti kondisi semula.