Pernah gak sih kalian scroll media sosial, terus nemu seseorang yang dibanjiri hujatan cuma gara-gara satu video? Atau public figure yang langsung kehilangan pekerjaan hanya karena satu pernyataan? Hal ini sering dikenal dengan sebutan cancel culture, budaya 'mencoret' seseorang dari ruang publik digital, seolah-olah mereka tidak layak mendapat tempat lagi di tengah masyarakat.
Awalnya, cancel culture muncul sebagai bentuk solidaritas publik dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Misalnya, ketika pelaku pelecehan seksual atau penipuan tidak mendapat hukuman yang setimpal dari sistem hukum, netizen turun tangan dengan mengungkap identitas pelaku, memboikot produk yang mereka dukung, hingga mendorong pemecatan. Di sisi ini, cancel culture punya sisi positif, ia bisa menjadi suara bagi korban dan alat tekanan sosial agar keadilan ditegakkan, sehingga pelaku kena batunya.
Masalahnya, kita sering lupa konteks karena emosi duluan. Lama-lama budaya ini bergeser menjadi alat penghakiman massal yang tak mengenal ampun. Cancel culture ini menjadi ajang saling lempar batu. Bedanya, yang dilempar bukan batu beneran, tapi hujatan tanpa henti. Media sosial berubah jadi ruang sidang dadakan di mana seseorang dihukum sebelum diberi kesempatan klarifikasi. Padahal, kesalahan bisa terjadi dan orang punya hak untuk berubah.
Ternyata efek dari cancel culture ini nggak main-main loh! Banyak yang mengalami tekanan mental, kehilangan pekerjaan, relasi, bahkan trauma sosial yang berkepanjangan. Dalam banyak kasus, hukuman sosial dari publik kadang terlihat lebih kejam daripada hukum itu sendiri. Tidak sedikit juga yang akhirnya vakum dari media sosial, atau malah nyalahin diri sendiri terus-menerus. Serem, ya?
Namun, bukan berarti kita gak boleh kritik, lho. Tapi yuk, belajar ngerem sedikit sebelum ikut-ikutan ngegas. Kritik memang penting untuk membentuk masyarakat yang lebih sadar dan bertanggung jawab. Tapi mungkin kita perlu lebih bijaksana dalam menyampaikan kritik. Alih-alih langsung cancel, kenapa tidak memberi ruang untuk menjelaskan, edukasi, dan kesempatan untuk berubah?
Karena pada akhirnya, semua orang bisa salah. Dan semua orang juga berhak untuk belajar dan memperbaiki diri. Jangan sampai niat baik berubah jadi cuma ikut-ikutan arus. Karena kadang yang kita pikir "aksi bela kebenaran", ternyata malah jadi cyberbullying berjamaah.
Dunia ini udah cukup keras, jangan tambah keras dengan jempol kita sendiri. So, next time liat drama viral, jangan langsung main palu. Bisa jadi, yang kalian "hukum" hari ini, sebenarnya cuma butuh waktu untuk jadi lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI