Politisi senior yang turut menggawangi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali di senayan, Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra (Gus Adhi) menengarai pelanggaran tata ruang yang sangat 'brutal' di Bali. Pelanggaran tata ruang dan meninggalkan falsafah kearifan lokal Tri Hita Karana hingga membuat kerusakan alam di Bali ini, disebut menjadi penyebab utama bencana banjir bandang yang memakan korban 18 tewas dan hilang pada Rabu (10/9) lalu (Dikutip dari NUSABALI.com). Gus Adhi yang merupakan anggota Komisi II DPR RI dapil Bali periode 2019-2024 mengatakan, peristiwa bencana alam menjadi alarm bagi pemimpin di Bali baik eksekutif maupun legislatif agar jangan abai dengan konsep Tri Hita Karana, falsafah Hindu tentang bagaimana menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan (alam). "Konsep tentang hubungan harmoni antara manusia dengan alam ini terabaikan. Pengelolaan alam dan tata ruang di Bali sangat jauh dari Tri Hita Karana. Pemanfataan tata ruang brutal. Bahkan penataan ruang diplesetkan menjadi tata uang karena terindikasi oknum yang punya kewenangan dengan bebasnya mengumbar izin pemanfaatan ruang. Benar banjir di Bali karena pemerintah abai dengan konsep Tri Hita Karana pada tata ruang Bali?
Pertanyaan mengenai apakah banjir di Bali menunjukkan adanya kelalaian pemerintah dalam menerapkan konsep Tri Hita Karana dalam tata ruang adalah sebuah kritik dan refleksi yang sering muncul di kalangan akademisi, pemerhati lingkungan, dan masyarakat Bali. Banyak pandangan dan kritik yang menyoroti bahwa banjir di Bali, selain disebabkan oleh faktor alam (seperti intensitas hujan tinggi), juga merupakan akumulasi dari masalah tata ruang yang buruk dan pengabaian terhadap prinsip Palemahan (hubungan harmonis manusia dengan alam) yang merupakan salah satu pilar Tri Hita Karana.
Berikut poin-poin penting yang sering disorot terkait kritik ini:
- Pengabaian Prinsip Palemahan (Hubungan dengan Lingkungan)
- Alih Fungsi Lahan dan Pembangunan Masif: Pesatnya pembangunan akomodasi pariwisata (hotel, cottage, dll.), terutama di Bali Selatan, dituding menyebabkan alih fungsi lahan sawah dan perkebunan menjadi bangunan keras. Hal ini secara drastis mengurangi daerah resapan air dan merusak ekosistem, bertentangan dengan prinsip Palemahan yang mengedepankan kelestarian lingkungan.
- Melanggar Sempadan: Banyak proyek pembangunan yang diduga menabrak sempadan sungai dan pantai. Ketika daerah aliran sungai dan resapan di bantaran sungai diubah menjadi bangunan, daya dukung lingkungan untuk menampung air hujan menjadi sangat rapuh, yang langsung memicu banjir saat curah hujan tinggi.
- Sampah: Masalah sampah yang serius, di mana sebagian besar sampah berakhir di sungai, juga menjadi faktor penting. Penumpukan sampah menyumbat aliran sungai dan saluran air, memperburuk dampak banjir. Hal ini mencerminkan lemahnya implementasi kesadaran ekologis di masyarakat dan penegakan aturannya.
2. Tata Ruang yang "Salah Kaprah"
Kritik mengarah pada kebijakan tata ruang yang dianggap terlalu berorientasi pada nilai ekonomi pariwisata jangka pendek, dan mengorbankan prinsip keseimbangan ekologis, yang seharusnya menjadi fondasi tata ruang Bali berdasarkan Tri Hita Karana. Banjir ekstrem dianggap sebagai "bom waktu" dari kesalahan kebijakan tata ruang ini.
3. Tri Hita Karana Hanya Jadi "Slogan" atau "Simbol"
Beberapa kritikus berpendapat bahwa filosofi Tri Hita Karana (terutama pilar Palemahan) saat ini cenderung direduksi hanya menjadi simbol pariwisata atau wacana ritualistik, namun tidak terinternalisasi dan ditegakkan secara substansif dalam kebijakan pembangunan dan tata ruang, baik oleh pemerintah maupun dalam praktik sehari-hari masyarakat.
Secara keseluruhan, banjir di Bali sering kali diinterpretasikan sebagai cerminan pudarnya atau melemahnya implementasi konsep Tri Hita Karana, khususnya aspek Palemahan, dalam kebijakan tata ruang dan pembangunan di Pulau Dewata. Banjir dianggap bukan semata bencana alam, tetapi juga bencana ekologis-politik yang menuntut koreksi serius terhadap tata kelola ruang yang lebih disiplin dan berbasis pada kearifan lokal yang sesungguhnya.
Pemerintah dan semua pihak didesak untuk kembali memegang teguh dan melaksanakan kearifan lokal tersebut, bukan hanya menjadikannya jargon, melalui penegakan aturan tata ruang yang ketat dan investasi dalam infrastruktur yang memadai (seperti Smart Water Management) serta revitalisasi fungsi ekologis dari sistem tradisional seperti Subak.
Daftar Pustaka
https://www.nusabali.com/berita/201487/pelanggaran-tata-ruang-sangat-brutal