Mohon tunggu...
Lyfe

Perbandingan Hasil Pelaksanaan Agrarian Reform di Indonesia dengan China dan Jerman

25 November 2017   12:35 Diperbarui: 25 November 2017   15:10 3210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak

Tanah sebagai ruang mutlak yang dipergunakan suatu negara melakukan pembangunan yang tujuan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, tanah memiliki keterbatasan dari segi kualitas maupun kuantitas. Keterbatasan ini yang membuat masyarakat menengah atas mampu memiliki banyak lahan sedangkan masyarakat menengah bawah hanya mampu mengusahakan lahan tersebut. Sehingga agrarian reformdilaksanakan hampir di semua negarasebagai program untuk memeratakan kepemilikan atas tanah antara kalangan masyarakat menengah atas dengan masyarakat menengah bawah. Pelaksanaan suatu program pasti ada yang berhasil ataupun gagal. Untuk melihat berhasil tidaknya pelaksanaan agrarian reform, maka dalam penulisan ini mengambil contoh dari Indonesia, China, Jerman.

Kata kunci : agrarian reform, lahan


Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Di negara agraris pertanian memiliki peranan penting baik di sektor perekonomian atau pemenuhan kebutuhan pokok[1]. Begitu pentingnya pertanian di Indonesia juga membuat nilai guna atas tanah tinggi. Tanah merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat agraris. Tanah tidak hanya bermanfaat di bidang pertanian saja.

Namun, tanah juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang yang harus dimanfaatkan sebesar- besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum atau kemakmuran rakyat di seluruh bidang kehidupan dalaam rangka mewujudkan tujuan nasional.Keterbatasan kualitas dan kuantitas tanah di Indonesia mengakibatkan pembangunan yang sebagian besar menggunakan tanah belum dapat diwujudkan secara maksimal sehingga untuk mencapai tujuan akhir negara berdasarkan pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea ke empat masih jauh dalam pencapaiannya.

Bahkan dulunya saat masa penjajahan karena keterbatasan tanah tersebut membuat hanya segelitir masyarakat pribumi (masyarakat yang tergolong keadaan ekonominya menengah atas dan/atau terpelajar) saja yang diperbolehkan memiliki tanah, sisanya banyak dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial maupun Jepang.

Masyarakat Indonesia yang sebagian besar kehidupan ekonominya menengah ke bawah dan/atau tidak berpendidikan hanya diperbolehkan mengerjakan tanah milik pemerintah kolonial dan Jepang tanpa menikmati hasil jerih payahnya dalam mengusahakan tanah milik negerinya sendiri. Keadaan yang memprihatinkan ini terus berlanjut hingga akhirnya Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sejak kemerdekaan Indonesia itulah, pemerintah mulai menyoroti ketimpangan atas kepemilikan tanah di dalam negaranya.

Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan kepemilikan tanah di Indonesia disebut dengan agrarian reform. Agrarian reform terjadi karena adanya ketidakadilan dalam kepemilikan tanah dan adanya penguasaan tanah oleh segelintir orang. Tindakan yang dilakukan pemerintah ini secara peraturan menurut Parlindungan sudah sesuai karena menurutnya suatu negara yang ingin maju harus mengadakan land reform. Namun, nampaknya agrarian reform yang dimulai ketika Indonesia merdeka hingga sekarang ke 72 tahun kemerdekaannya belum mencapai hal yang cukup signifikan.

Pencapaian agrarian reformdi Indonesia dapat dilihat pada banyak sengketa tanah terbengkalai yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah proyek Merauke Integrated Food and Energy State (MIFEE). Proyek ini merupakan proyek antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia Bagian Utara untuk pengembangan agrobisnis di Papua. Renacan pemerintah ini untuk memajukan daerah timur Indonesia agar roda perekonomiannya juga setara dengan daerah- daerah lain di Indonesia.

Namun, mega proyek tersebut tidak disetujui oleh masyarakat adat Papua karena berbagai alasan tetapi nampaknya keberatan yang diajukan masyarakat adat pada pemerintah Indonesia tidak diakomodir dengan baik. Hal ini dapat dilihat bahwa dimulainya pembangunan proyek tersebut dengan pengusiran masyarakat adat dari tempat asalnya tanpa kompensasi yang layak. Pada kasus ini nampak ketidakadilan atas kepemilikan tanah di Indonesia terutama tanah masyarakat adat. Padahal tujuan utama dari agrarian reformsebenarnya untuk memeratakan kepemilikan tanah di Indonesia seadil mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun