Mohon tunggu...
Esther Esther
Esther Esther Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

No Biographical Info

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memberi, Tidak Akan Pernah Cukup

17 Juni 2012   07:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:53 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Berbagi pengalaman dalam memberi.

Seorang wanita berprofesi tukang cuci seterika, bersuamikan tukang mie goring, ber-anak 3, saya beri beras merek Carrefour. Dia terlihat senang menerimanya. Seminggu kemudian dia datang pada saya, berkata, “Bu, maaf hlo ya ini, saya boleh minta beras merek Si Pulen nggak? Kan ibu punya juga..” Saya tercengang sesaat. Saya pikir, kalau beras Si Pulen saya diminta, jadi saya pakai beras merek Carrefour? Sebagai referensi anda, beras Si Pulen agak lebih mahal daripada beras merek Carrefour.

Saya katakan padanya, bagaimana kalau kita makan sama-sama beras Si Pulen saya? Tapi mbak yang masak ya… Deal. Dia setuju. Lalu kita makan bersama. Untuk saya dan keluarga saya, juga dia dan keluarganya.

Tidak terlepas pada sebuah pembelajaran lain, bahwa memberi kail lebih baik daripada memberi ikannya, namun ada masa-masa dimana kita memang ada pada situasi untuk memberi ikan. Bukan memberi kail .

Pengalaman ini memberi pembelajaran pada saya, bahwa manusia pada umumnya tidak pernah merasa cukup. Ini berlaku bagi yang berpunya maupun yang tidak berpunya. Sejalan dengan rasa tidak cukup itu, maka memberi tidak akan pernah cukup pula.

Seseorang pernah berkata pada saya, “Jika anda bersedekah lalu menceritakannya pada orang lain, maka anda tidak akan mendapat pahalanya”.

Mari saya beritahu anda mengapa saya menulis artikel seperti ini.

Pertama, dalam memberi saya tidak mencari pahala. Sebagaimana Tuhan tidak hitung-hitungan dalam memberkati saya, dan saya juga tidak mati membawa invoice tagihan pahala saya untuk Tuhan, maka demikianlah saya memberi begitu saja. Mengikuti dorongan hati.

Kedua, saya mengajak anda berlomba dalam berbuat baik bagi sesama. Sesama kita, adalah siapapun, dari latar belakang apapun. Sahabat, maupun pembenci kita. Jika kita hanya berbuat baik kepada yang telah berbuat baik kepada kita, apakah lebihnya kita dibandingkan dengan orang yang tidak mengenal Allah?

Ketiga, saya mengistilahkannya dengan memberi, bukan bersedekah. Meskipun artinya sama, namun berkonotasi beda. Memberi lebih berkonotasi bahwa yang diberi tidak memiliki perbedaan level. Istilah memberi digunakan untuk lintas tingkat ekonomi dan latar belakang. Namun, istilah sedekah hanya digunakan dari yang mampu kepada yang tidak mampu. Dengan menggunakan istilah memberi, maka paling tidak saya diarahkan untuk tidak menilai orang dari latar belakang ekonominya. Tidak ada istilah “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, karena dalam memberi kita sederajat. Tidak ada yang di atas, tidak ada yang di bawah. Saya tidak lebih baik dari dia, dia tidak lebih baik dari saya.

Ke empat, sebentar lagi bulan Ramadhan. Menyiapkan zakat dan sedekah jauh hari akan mengakibatkan perbedaan sikap hati dibandingkan menyiapkan sedekah mepet lebaran. Tidak jarang, sedekah yang kita siapkan jauh hari itu sudah habis dibagikan sebelum Ramadhan tiba. Tidak apa juga, siapkan lagi untuk diberikan lagi. Kalau habis sebelum waktu berzakat tiba, ya siapkan lagi, untuk diberikan lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun