Mohon tunggu...
Ester Eginna Br Sihombing
Ester Eginna Br Sihombing Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Katholik Santo Thomas

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Ketika Profesionalisme Tak Lagi Beretika

19 Juli 2025   11:34 Diperbarui: 20 Juli 2025   14:02 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://openai.com/dall-e)

Di era modern yang penuh tuntutan akan kecepatan dan hasil, banyak profesi mengalami tekanan untuk selalu tampil maksimal dan kompeten. Kata "profesional" pun menjadi label yang diidamkan. Namun, di balik semangat profesionalisme yang menjanjikan efisiensi dan keunggulan, muncul satu pertanyaan besar: masihkah etika menjadi bagian dari profesionalisme? Atau jangan-jangan, di banyak ruang kerja, profesionalisme justru berjalan tanpa etika?

Fenomena ini tak lagi asing. Seorang pengacara yang lihai membela kliennya tapi menutup mata terhadap kebenaran; seorang dokter yang sangat terampil tapi menjadikan pasien sebagai ladang bisnis semata; atau seorang jurnalis yang pandai menulis tapi rela menukar idealisme dengan klik dan sensasi. Mereka semua mungkin "profesional" dalam definisi teknis, namun etika kerap tertinggal jauh di belakang.

Antara Keahlian dan Kebaikan: Di Mana Letak Kompromi?

Profesionalisme sejatinya bukan hanya soal kecakapan teknis. Menjadi profesional berarti menjunjung standar perilaku tertentu, termasuk integritas, tanggung jawab, dan kejujuran. Namun, dalam praktiknya, profesionalisme kini kerap diukur hanya dari hasil kerja, gelar, dan pengalaman.

Ini adalah jebakan yang berbahaya. Keahlian tanpa etika bisa berujung pada kerusakan yang lebih besar. Lihat saja kasus-kasus korupsi berskala besar yang melibatkan akuntan andal, ahli hukum, atau insinyur berprestasi. Mereka profesional, ya, tapi tidak etis. Maka jadilah mereka bagian dari masalah, bukan solusi.

Lebih dari sekadar "melakukan pekerjaan dengan baik", etika memandu seseorang untuk "melakukan pekerjaan dengan benar". Artinya, bukan hanya what you do, tapi how you do it. Bila seorang tenaga medis tidak menghormati hak pasien, atau seorang guru bertindak diskriminatif, maka seluruh kompetensinya menjadi tidak bermakna.

Budaya Kerja yang Membentuk atau Merusak Etika?

Tak bisa dimungkiri, lingkungan kerja juga punya peran besar. Dalam banyak institusi, profesionalisme yang dihargai adalah yang menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, secepat-cepatnya. Dalam budaya seperti ini, tekanan untuk mengejar target atau "angka" sering membuat individu mengorbankan prinsip moral mereka. Apalagi jika pelanggaran etika dianggap "biasa" atau malah diabaikan oleh atasan.

Di sinilah pentingnya regulasi internal dan kepemimpinan yang etis. Organisasi seharusnya tidak hanya mengukur kinerja dari produktivitas semata, tapi juga dari kepatuhan terhadap kode etik profesi. Tanpa ini, profesionalisme hanya akan menjadi topeng dari ambisi pribadi dan sistem yang permisif terhadap ketidakjujuran.

Untuk memperbaiki keadaan, pendidikan etika harus kembali ditempatkan sebagai fondasi dalam setiap bidang profesi. Bukan sebagai mata kuliah pelengkap atau slogan kosong, tapi sebagai nilai hidup yang ditanamkan sejak awal. Di sisi lain, perlu ada keberanian dari para pelaku profesi sendiri untuk menjadi penjaga nilai bukan hanya pelaksana tugas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun