Penyematan Ulos Tujung dalam adat Batak Toba merupakan salah satu praktik kultural yang sarat makna, baik secara sosial, spiritual, maupun simbolik.Â
Ulos Tujung tidak hanya berfungsi sebagai kain adat, tetapi juga sebagai tanda perubahan status sosial seseorang yang ditinggalkan pasangan hidupnya.Â
Penerima Ulos Tujung resmi diakui dalam adat sebagai janda atau duda, sehingga ulos ini memegang kedudukan penting dalam mengesahkan identitas baru tersebut di tengah masyarakat.
Penelitian yang dilakukan pada konteks Batak Toba di Siborongborong  menunjukkan bahwa pemberian Ulos Tujung hanya dapat dilakukan oleh pihak hula-hula kepada seorang istri yang ditinggalkan suaminya, atau oleh tulang jika yang ditinggalkan adalah suami. Ulos Tujung dimaknai sebagai tanda resmi bahwa penerimanya telah menyandang status baru. Dengan demikian, ulos ini bukan sekadar simbol duka, melainkan perangkat legitimasi adat yang menegaskan status sosial seseorang di hadapan komunitasnya. Hal ini sekaligus memperlihatkan betapa eratnya kaitan antara simbol kultural dengan struktur sosial Batak Toba, di mana hula-hula menempati posisi otoritatif untuk mengesahkan perubahan status tersebut.
Dalam perspektif lain, penelitian di Desa Buluduri, Kabupaten Dairi menekankan makna simbolik Ulos Tujung sebagai media doa (*hata pasu-pasu*). Penyematan Ulos Tujung oleh hula-hula diartikan sebagai wujud kasih sayang dan solidaritas terhadap boru (pihak perempuan) atau bere (keponakan) yang sedang berduka. Melalui ulos ini, hula-hula memanjatkan doa agar pihak yang ditinggalkan mampu melupakan kesedihan, kembali bersemangat, dan meneruskan kehidupannya. Lebih dari itu, doa tersebut juga berisi harapan agar peristiwa duka tidak lagi menimpa keturunan mereka. Dengan demikian, Ulos Tujung dipahami sebagai instrumen spiritual yang menghubungkan kasih sayang manusia dengan pengharapan ilahi, menjadikan hula-hula sebagai perantara berkat dan penghiburan.Â
Sementara itu, kajian tentang eksistensi Ulos Tujung menegaskan bahwa praktik ini memiliki fungsi menjaga kontinuitas nilai budaya Batak Toba di tengah modernisasi. Ulos Tujung dipahami sebagai simbol penghormatan leluhur, identitas keluarga, dan solidaritas sosial. Walaupun penelitian ini tidak secara eksplisit menyebutkan hula-hula sebagai pemberi ulos, implikasinya jelas: ulos hanya sah bila diserahkan oleh otoritas adat yang berperan sebagai sumber berkat, yakni hula-hula. Dengan demikian, eksistensi Ulos Tujung tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga menegaskan bahwa warisan budaya Batak Toba tetap relevan dan bermakna dalam konteks kekinian.
Dari ketiga penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyematan Ulos Tujung memiliki tiga dimensi utama.Â
Pertama, dimensi **sosial-adat**, di mana ulos berfungsi sebagai tanda resmi perubahan status seseorang menjadi janda atau duda.Â
Kedua, dimensi **spiritual-doa**, di mana ulos menjadi media pasu-pasu (berkat) dari hula-hula, sekaligus penghiburan dan penguatan bagi pihak yang berduka.Â
Ketiga, dimensi **budaya-identitas**, di mana ulos menjaga kesinambungan nilai-nilai adat Batak Toba lintas generasi.
Dengan demikian, penyematan Ulos Tujung tidak hanya dimaknai sebagai ritual kematian, melainkan sebagai simbol pengesahan status sosial, media doa, dan peneguhan identitas budaya. Keberadaan hula-hula sebagai pihak yang menyematkan ulos menunjukkan bahwa dalam adat Batak Toba, setiap perubahan status kehidupan manusia harus disahkan oleh otoritas adat yang dihormati, yaitu hula-hula. Hal ini menegaskan bahwa Ulos Tujung tetap relevan sebagai warisan budaya yang menghubungkan manusia dengan komunitas, leluhur, dan Sang Pencipta.
Dikutip dari ArtikelÂ
SEMIOTIKA ULOS DALAM UPACARA KEMATIAN ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN SIBORONGBORONG Rismar Wahyu, Darni Uli Mega Putri Tambunan, Yuni Veronika Saragih, Â Dian Syahfitri