Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mahalnya Harga Sebuah Netralitas

15 Oktober 2019   11:27 Diperbarui: 15 Oktober 2019   11:34 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sungguh miris dan prihatin memperhatikan kondisi empati sebagian masyarakat saat ini dalam menyikapi musibah yang dialami Menkopolkam Wiranto. Mengapa masih ada sikap skeptis dalam sebagian masyarakat sehingga pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan secara hukum bahkan juga hingga terdampak pada keluarganya ?. Tidak kurang sudah tiga prajurit TNI, staf UNDIP, maupun masyarakat umum lainnya yang terpaksa berurusan dengan hukum hanya karena koment negatifnya di media sosial.

Mengapa harus demikian ?.

Sebagai pengingat bagi kita, khusus bagi TNI, netralitas merupakan amanah dalam pelaksanaan reformasi internal TNI sesuai Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pengertian dari netralitas TNI adalah, Netral: "Tidak berpihak, tidak ikut, atau tidak membantu salah satu pihak". Netralitas TNI juga berarti "TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis". Dan tuntutan netralitas ini juga tidak mungkin dapat diimplementasikan tanpa dukungan dari keluarganya, terutama anak dan istri-nya.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa apa yang diucapkan keluarga besar TNI itu di media sosial adalah juga bentuk kebebasan berbicara, sama seperti dengan apa yang juga dilakukan masyarakat umum lainnya. Namun siapapun itu, bila kebebasan berbicara itu tidak berdasarkan fakta kebenaran dan mengandung unsur ketidak netral-an, apalagi patut diduga mengandung unsur kebencian maka apapun statusnya tidak bisa terlepas dari konsekuensi hukum-nya. Apalagi jika statusnya sebagai KBA TNI, malah lebih berat sanksinya.

Kualitas "ocehan" terhadap musibah yang dialami Menkopolkam Wiranto seperti yang sedang viral saat ini dapat dinilai sama "parah" nya seperti hoaks yang disampaikan dalam kasus Ratna Sarumpaet beberapa waktu lalu. Apakah kicauan miring seperti ini hanya karena ikut-ikutan saja, seperti kicauan anggota DPRD DIY Hanum Rais di Twitter yang menyebut penusukan Menko Polhukam Wiranto sebagai rekayasa. Sebagai "setingan agar dana deradikalisasi terus mengucur. Dia caper. Karena tidak bakal dipakai lagi. Play victim. Mudah dibaca sbg plot".

Hebatnya kicauan miring hanum rais ini belum / tidak diproses secara hukum hingga saat ini. Mungkinkah karena contoh sinisme yang tidak berdampak hukum seperti ini sehingga akhirnya ditiru dan diikuti ?. Bisa saja.

Mungkin banyak orang yang sakit hati karena ucapan ataupun kebijakan pemerintah yang disampaikan oleh wiranto selaku Menkopolkam, namun sebagai negara hukum maka tidak mungkin ada pembenaran bagi teroris atau pelaku kriminal nya, dengan alasan apapun itu. Tidak etis jika ada pihak yang malah membela dan mendukung aksi teror penusukan yang dilakukan terduga teroris Syahril Alamsyah alias Abu Rara terhadap Menko Polhukam Wiranto. Baik yang mendukung secara lisan ataupun tulisan di media sosial.

Sebagai keluarga besar TNI, komentar sinis seperti ini dapat diianggap melanggar Sapta Marga di tubuh TNI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 Pasal 8 a dan Pasal 9. "Seorang prajurit tidak taat terhadap pimpinan dan melanggar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Jadi ketika prajurit ataupun keluarga nya melanggar semua itu, maka konsekuensi terhadap karir nya juga harus diterima. Itulah ciri khas disiplin militer. Tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan keadilan dasar hukum yang dipakainya.

Bisa dibayangkan "daya rusak" apa yang dapat diakibatkan jika keluarga seorang pejabat TNI justru bersikap berbeda dengan kepatutan atau empati dan netralitas yang seharusnya mampu tampil menyejukkan pada segala situasi, apalagi pada situasi negara yang masih sibuk berkonsolidasi untuk mendinginkan konflik saudara sebangsa nya di Wamena dan juga dampak gempa di Maluku yang sangat menyita energi bangsa ini. Berapa banyak jumlah keluarga dan anggota TNI dibawah pangkatnya yang mungkin akan terpengaruh dan mengikuti sikap nya ?.

Menjadi layak disimak pernyataan Menhan Ryamizard Riyacudu yang menyebut ada kurang lebih 3 persen anggota TNI yang terpapar radikalisme, sikap mereka sudah tidak berpegang lagi pada nilai-nilai Pancasila. Mungkinkah ini salah satu contohnya ?. Perlu untuk segera diteliti dan dibuktikan oleh jajaran internal TNI agar tidak menjadi tuduhan liar yang bisa merusak citra seluruh prajurit TNI.

Netralitas TNI merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar tawar lagi serta tidak perlu diragukan oleh mayarakat. Selain Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, para prajurit TNI juga diikat dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang disiplin militer. Artinya pada posisi dan situasi kondisi apapun bahwa TNI selalu menempatkan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi maupun golongan. Selalu tampil sebagai pemersatu bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun