Fenomena Keramaian Palsu
Manusia adalah makhluk yang pada dasarnya mendambakan perjumpaan. Di dalam darah kita mengalir naluri untuk berbagi tawa, duduk bersama, dan merasakan kehangatan dari keberadaan orang lain. Bagi bangsa Indonesia sendiri, hal ini termanifestasi dalam bentuk organisasi, komunitas, paguyuban, kelompok alumni, sampai ormas. Dari skala kecil seperti karang taruna RT hingga gerakan sosial nasional. Semuanya bermula dari hasrat yang sama, ingin berkumpul dan merasa menjadi bagian dari sesuatu.
Namun tidak semua keramaian membawa makna. Tidak semua perkumpulan menghasilkan kebaikan. Tidak semua yang tampak hidup dari luar, benar-benar memiliki nyawa di dalamnya. Kita hidup dalam zaman ketika keramaian bisa dibentuk oleh kebutuhan validasi, bukan niat tulus untuk bertumbuh. Di media sosial, kita melihat grup-grup komunitas yang muncul dan hilang secepat bayangan. Di kampus, ada organisasi yang hanya ramai di masa rekrutmen lalu sunyi tanpa karya. Di kantor, ada geng-geng kecil yang mengklaim solidaritas tapi sesungguhnya menjadi sarang keluhan dan gosip.
Saya pernah berada dalam lingkungan semacam itu. Berkumpul hanya untuk membicarakan hal-hal yang sama berulang kali. Menjelekkan atasan, menyindir kebijakan kantor, membahas kekurangan rekan kerja yang bahkan tidak hadir untuk membela diri. Semua tampak seperti pelampiasan, bukan penyelesaian. Ada rasa bosan yang pelan-pelan menjelma menjadi lelah batin. Bahkan ketika berkumpul di warung kopi, yang seharusnya bisa menjadi tempat melepas penat, pembicaraannya tetap tidak jauh-jauh dari masalah kantor dan masalah orang lain. Seolah tidak ada tempat lain yang lebih menyenangkan daripada membedah luka yang tidak kita miliki.
Dalam konteks psikologis, ini bisa disebut sebagai ruang gema sosial, yaitu ketika kita berkumpul dengan orang-orang yang hanya memperkuat opini dan rasa kecewa kita, bukan memberi cermin atau arah. Kita merasa didengar, tapi sejatinya hanya diperdengarkan pada versi lain dari diri kita yang sama-sama belum pulih. Validasi seperti ini memang menghangatkan, tetapi tidak menyembuhkan. Kemudian sejatinya kita berkumpul bukan bertumbuh, ironinya kita hanya mengulang kelelahan emosi yang sebetulnya sudah berlalu.
Rasulullah SAW menegaskan akan pentingnya selektif dalam pergaulan.
"Perumpamaan teman duduk yang shalih dan teman duduk yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi, bisa saja ia memberimu wewangian, atau bahkan kamu membelinya, atau minimal kamu menikmati wanginya yang harum. Sedangkan pandai besi, bisa membakar badan atau pakaianmu, atau paling tidak, kamu mencium baunya yang busuk." (HR. Bukhari no. 2101 dan Muslim)
Hadits ini menekankan bahwa lingkungan sosial bisa sangat menentukan kesehatan batin seseorang. Seorang teman yang baik akan memberi pengaruh walau kita tidak menyadarinya. Begitu pula sebaliknya, pergaulan yang buruk bisa meninggalkan jejak luka, mencemari semangat, dan membentuk pikiran-pikiran destruktif yang pelan-pelan menjadi cara pandang hidup. Di zaman sekarang, perumpamaan ini tidak hanya berlaku untuk sahabat pribadi, tapi juga untuk komunitas, organisasi, bahkan forum-forum digital.
Maka jika kita mulai merasa bahwa sebuah kelompok membuat kita semakin mudah marah, semakin mudah curiga, semakin sering merasa benar sendiri, barangkali itu bukan lagi ruang bertumbuh, melainkan keramaian palsu. Apalagi jika tidak ada visi, tidak ada karya, tidak ada agenda pembelajaran bersama. Kita hanya ramai di awal, lalu sunyi di tengah jalan, dan bubar dalam diam tanpa pertanggungjawaban.
Saya menulis ini bukan sebagai penghakiman, tapi sebagai pengingat yang saya tujukan juga untuk diri saya sendiri. Sebab saya pernah menjadi bagian dari perkumpulan yang tidak efektif, bahkan melelahkan. Saya pernah merasa kosong setelah tawa yang panjang, karena ternyata tidak ada makna di baliknya. Dari pengalaman itu, saya belajar untuk lebih selektif, bahwa tidak semua keramaian harus diikuti, dan tidak semua undangan berkumpul harus diterima.
Tulisan ini saya tujukan bagi siapa pun yang sedang berada di sekolah, kampus, kantor, maupun komunitas sosial masyarakat. Yang sedang merasa gelisah tapi tidak tahu sebabnya. Mungkin jawabannya ada di dalam lingkaran yang kita jaga tetapi ternyata tidak menjaga kita. Tidak ada salahnya menyendiri sejenak. Bukan untuk lari, tapi untuk menjaga agar tidak larut.