Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menilik Modal Sosial Masyarakat Nelayan

12 April 2017   08:50 Diperbarui: 12 April 2017   16:30 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesona wisata bahari milik masyarakat Lasem (Sumber foto: www.wisatabaharidasun.com)

Bermimpi menyulap kawasan pesisir menjadi desa wisata, sebut saja wisata bahari[i], mau tidak mau kita harus menilik ikatan solidaritas masyarakat nelayan yang ada. Apapun yang tertemukan dalam tilikan ikatan solitaritas nanti, kita harus memandang arif untuk difungsikan dalam mendukung rencana program wisata. Etika ini penting untuk dimiliki para agen yang sedang memperjuangkan desa nelayannya menjadi desa wisata bahari.

Jika dalam sebuah tilikan, ikatan solidaritas yang tertemukan adalah ikatan solidaritas tradisi, maka daya dan energi itu harus digunakan untuk mendorong terwujudnya program yang ada. Begitupun, jika dalam kajian, ikatan solidaritas yang ada cenderung berlimpah ikatan solidaritas berbasis profit, pun juga dapat digunakan untuk modal sosial[ii] dalam mewujudkan desa wisata bahari yang diimpikannya.

Sikap yang arif di atas menjadi penting dihadirkan. Mengapa demikian? Karena dalam merencanakan sebuah perubahan sosial, prinsipnya adalah ketika proses berjalan harus memuliakan masyarakatnya. Membenci hingga menghilangkan anggota masyarakat pada saat memperjuangkan desa wisata bahari, adalah awal kegagalan dari program desa wisata bahari. Konflik horizontal secara berkepanjangan sama saja membuang kesempatan dan tidak menghargai potensi sosial. Semua musti dirangkul, semua musti dimuliakan, karena merekalah yang selama ini menjadi penjaga dan pelestari kebaharian.

Setelah urusan etika di atas sudah selesai, selanjutnya adalah mengkaji dengan jeli tentang dinamika sosial pada masyarakat nelayan, yaitu mengkaji ikatan solidaritas masyarakat nelayan. Inilah inti dari tulisan ini, yaitu menilik ikatan solidaritas masyarakat nelayan untuk digunakan modal sosial menuju kawasan wisata bahari yang berkelanjutan.

Mengkaji rencana perubahan sosial, dalam sosiologi acapkali kali tak lepas dari perspektif Durkheim tentang ikatan solidaritas. Dalam pemahaman terbatas, Durkheim mendedahkan bahwa ikatan solidaritas  adalah kesadaran kolektif yang menggerakkan akan semua tindakan social. Durkheim membagi ikatan solidaritas dalam dua alur. Pertama, alur solidaritas mekanik[iii]. Dan alur kedua adalah solidaritas organik[iv].

Alur solidaritas mekanik biasanya dipahami sebagai ikatan kesadaran kultural. Yang menggerakkan kesadaran dalam membangun ikatan sosial ini adalah sistem tradisi. Biasanya, perilaku sosial yang dijalankan pada solidaritas mekanik ini adalah perilaku sosial berbasis nilai (value). Contoh dalam masyarakat nelayan adalah melangsungkan tradisi sedekah laut. Mereka melakukan tindakan sosial sedekah laut, biasanya dilandasi dengan kesadaran kultural, bahkan terkadang dibalut dengan keyakinan.  

Selanjutnya alur yang kedua adalah alur solidaritas organik. Untuk mengidentifikasi alur kali kedua ala Durkheim ini dapat dilihat dengan mengidentifikasi fenomena “Nyumbang[v]” saat hajatan di masyarakat nelayan. Seperti halnya pada tradisi sedekah laut[vi] dan gotong royong, bahwa tradisi “Nyumbang” pun berjalan atas dasar kesadaran. Hanya saja perilaku resiprosikal ini cenderung kuat dilandasi orientasi keuntungan.

Sedekah Laut dan Membangunkan Rumah Runtuh

Penjelasan logis terhadap perilaku solidaritas sedekah laut adalah adanya keterbatasan kemampuan para nelayan untuk menghalau petaka di laut. Sebuah petaka yang melampaui kekuatan manusia. Untuk itu, perlu adanya penguatan psikis terhadap bagaimana alam batin mereka tidak terbebani oleh petaka tersebut. Sebaliknya, bagi yang tidak berpartisipasi dalam tradisi sedekah laut, mereka cenderung bergundah rasa. Batin sekaan dirundung petaka setiap saat yang siap meluluh-lantakkan kapal dan pukatnya. Sehingga wajar, jika dalam perayaan sedekah laut, cukup mudah melakukan penggalangan dana, cukup mudah pelaksanaannya, karena semua sumber daya yang ada telah terkonstruksi dengan ikatan solidaritas jauh-jauh hari sebelumnya.

Begitupun dalam hal keseharian masyarakat nelayan. Panorama bergotong royong dalam mendorong kapalnya ke bibir laut, tindakan saling membantu saat kapalnya tersangkut batu karang, hingga rasa saling menjaga barisan kapal saat ombak besar melanda, itu semua adalah bukti nyata dari pancaran ikatan mekanik masyarakat nelayan.

Hal menarik juga dapat disaksikan ketika para nelayan berlimpah hasil tangkapannya, masyarakat nelayan dengan mudah bergotong royong dalam membantu prosesnya. Nelayan yang berlimpah hasil tangkapan laut, dengan mudah berbagi hasilnya. Mereka seakan tidak memandang penting akan harga dari jerih payah menangkap ikan di laut. Mengapa demikian? Perilaku tersebut berlangsung karena kesadaran kolektif[vii], bahwa usaha menangkap ikan dilaut bukan semata-mata memiliki kapal dan pukat saja. Melaut bagi mereka adalah buah kesadaran akan keselamatan dari petaka. Keselamatan melaut adalah kemurahan Sang Pencipta. Adapun limpahan tangkapan ikan adalah wujud cintaNya kepada hambanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun