Di teras kesayangan itu, nampak seorang wanita cantik nan aduhai memandang ke arah pohon Angsana, memperhatikan secara seksama sepasang burung merpati bercanda ria, mempukuk cinta dan kasih sayang diantara mereka.
Minah nama wanita cantik itu, usianya sekarang menginjak 23 tahun. Tak ada yang menyangka, dia sekarang bersatus janda setelah suaminya yang sakit-sakitan meninggal dunia. Kabar duka itu nampaknya menjadi berita gembira untuk para lelaki di kampung itu, mereka punya kesempatan untuk memperistri Minah.
Sepuluh tahun sudah sejak pernikahannya bersama Almahrum. Dia menikah di usia 13 tahun setelah tamat di sekolah dasar. Karena ketaatan kepada orangtuanya, ia rela menikah muda dengan seorang pria tua yang tak lain adalah sepupu jauh ayahnya  yang berusia 35 tahun lebih tua dibandingnya. Keputusan Ayahnya yang seorang Imam di kampungnya, tak lain karena ingin menjaga anaknya dari fitnah.
Minah mengaku tak pernah sekalipun disentuh suaminya selama sepuluh tahun pernikahan, ia selalu menolak dengan alasan belum siap.
Kini diusianya yang mulai matang, Minah belum juga membuka hati untuk lelaki yang berniat memperistrinya.
Beberapa lelaki telah datang ke rumah Ayahnya dengan maksud melamar Minah. Lelaki itu datang dari latarbelakang yang berbeda-beda. Ada dari kalangan pengusaha dan konglomerat, seorang anggota polisi dan tentara. Adapula lelaki yang berniat menjadikannya istri kedua. Tak tinggal diam para petani juga mengajukan anak lelakinya untuk menjadi suami Minah. Tapi tak satupun yang beruntung.
Ayah Minah, kini menyerahkan secara penuh keputusan kepadanya.
"Ayah merasa bersalah telah memaksamu menikah, sepuluh tahun kau menjalani bahtera rumah tangga tanpa cinta dan kebahagiaan, sekarang kau sudah dewasa, pilihlah hidupmu sendiri.. Nak" ucap ayah Minah dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak!. Semua ini sudah menjadi takdirku yah.. dan aku pasrah akan hal itu, yang terpenting sekarang bagaimana menemukan kebahagiaanku dan menjalaninya."
Kabar menjandanya Minah tak hanya sampai di telinga orang sekampung ataupun kampung sebelah, tapi juga sampai ditelinga seorang pemuda yang tinggal di tanah Kalimantan, namanya Nasir, dia sebelumnya juga tinggal di Sulawesi, sekampung dengan Minah dan sempat menjalani cinta monyet sewaktu kelas 6 SD. Dia pindah ke Kalimantan ketika SMA, ia dipanggil oleh pamannya yang seorang pengusaha batu bara untuk sekolah disana sambil bekerja. Berkat kegigihannya belajar, ia mendapat beasiswa S1 Teknik Pertambangan disalah satu Perguruan Tinggi di Kalimantan. Ketika kuliah ia mengelola salah satu tambang milik pamannya, hingga berhasil membuka tambang sendiri sebelum lulus kuliah. Ia bermaksud pulang menemui orangtuanya di kampung dan membawanya ke Kalimantan.