Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Desir Angin Senja

29 Maret 2024   22:11 Diperbarui: 30 Maret 2024   04:32 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sun ingin bebas seperti burung yang terbang kemanapun yang disukai. Mengepakkan sayapnya melintasi lautan, menyebrangi lembah-lembah curam lalu singgah di pucuk pepohonan di atas punggungan bukit hijau, atau bertengger di atap-atap rumah tua tiada penghuni.

Ia juga ingin membuka kunci yang membelenggu dirinya sejak lama. Kunci yang sejatinya hanya dimiliki oleh kesadaran dirinya untuk melakukan apa yang ia suka, dan dapat membebaskan.

Ia menyadari sekian masa telah dilalui hanya berkutat di urusan merawat suami, anak, sumur, dapur, dan kasur. Walau sekali waktu atau bahkan rutinitasnya mengelola tambak-tambak udang cukup membuka kesempatan itu. Tapi ia selalu diliputi keraguan untuk menjauh dari semuanya.

Tapi senja yang memudar di ufuk langit sore ini membawa langkahnya pada kebebasan itu.

Ia terlampau lemah untuk menjauh, dan justru terlena oleh masa lalunya dengan Kris, untuk menikmati desir angin di hamparan tambak-tambak udangnya yang luas.
--------------
"Ibumu belum pulang, Nak? "
"Belum, ayah. Katanya siang tadi bilang, sampai sore urusan jual beli belum tentu selesai. Orang yang mau membeli belum datang juga. Diminta untuk menunggu sebentar. "
"Iya, ibumu juga bilang kemarin seperti itu, dan orang kota katanya. "

Ratih menganggukkan kepala tanda setuju dengan yang dikatakan ayahnya. Ia mendekat, dan memutar engsel ranjang agar ayahnya punya posisi seperti sedang bersandar. Sekalian ia memberikan pula kudapan buah-buahan yang ia sediakan di meja sisi ranjang itu.


Ratih kadang merasa iba pada ayahnya, juga ibunya. Sejak 15 tahun lalu hingga kini apa yang dialami ayahnya tiada kunjung sembuh setelah alami kelumpuhan total akibat kecelakaan. 

Ayahnya pun sudah sulit mengingat apa yang dialami dulu itu. Juga masa lalu kehidupannya seakan hilang begitu saja, dan tidak punya kemampuan pula untuk sekedar mengisahkan.

Dan selama itu pula  ibunya berjuang sendiri, baik untuk membesarkan dirinya maupun merawat ayah, dan mengelola usaha tambak tersebut bersama beberapa orang pekerja.

Ia hanya ingat ibunya selalu mengatakan bahwa semua yang dialami ini adalah ujian, bukan teguran. Hingga saatnya ujian semacam ini akan lulus dan tunggu keajaiban selanjutnya.

Dan keajaiban itu justru datang di saat suasana bathinnya Sun letih, dan Kris pandai mengobati apa yang dirasakan Sun.

Kris bukan orang yang baru dikenal Sun. Ia kekasihnya ketika masa mahasiswa dulu. Bahkan hubungan asmara mereka sudah jauh hingga ke hulu. Hanya saja orang tua Sun tidak menyetujui hubungan itu, dan lebih memilih Pras, anak kepala desa yang dikenal juga sebagai juragan tambak.

Dan Sun juga tidak sampai selesai urusan kuliahnya oleh karena segera dinikahi paksa oleh orang tuanya pada Pras ketika itu.

Sejak itu Kris dan Sun tidak pernah bertemu hingga sore menjelang malam di area tambak udang yang hening ini.

"Sebaiknya aku antar kamu pulang, Sun. Malam sudah datang dan kuatir suami dan anakmu bertanya-tanya. "

Kris meminta dan Sun tampak ragu dan pura-pura untuk tidak mau memenuhi keinginannya itu tapi jauh dihatinya ia justru senang dan tidak menolak, dan Kris cukup memahaminya.

Sepanjang perjalanan mereka ungkapkan secara terang apa yang selama ini tersimpan di lubuk hati lewat komunikasi HP oleh karena mereka gunakan mobil yang berbeda. Sekian lama dari keduanya lewat perbincangan itu terungkap bahwa mereka satu sama lain telah memendam kerinduan yang sama.

Padahal mereka sudah berada di tempat yang berbeda dengan satu sama lain dan telah pula mempunyai keluarga dan kehidupan rumah tangga masing-masing. 

Kris di kota, dan Sun memilih di desa. Pertemuan ini juga tiada disangka oleh karena urusan usaha dagang.

Kini mereka sudah sampai di kediaman Sun.
-----------
Kris terkejut ketika memasuki pelataran kediaman Sun yang luas dengan aneka tanaman hias. Di tiap sudut lampu-lampu menyala temaram membuat tanaman memperlihatkan wajah keindahannya.

Sun mempersilakan Kris untuk duduk di teras rumah seraya menunggu sebentar untuk ia menemui suami dan anaknya, Ratih. 

Sementara seorang pembantu, mbak Nur, dimintanya untuk menyiapkan sajian teh untuk tamu istimewanya ini.
"Sekalian dibawa ya mbak ke depan. "

Suara Sun didengar Pras yang tengah berbaring. Sebelum ia memanggilnya, Sun lebih dulu menemuinya. Ratih juga ada di kamar ini sedang menemani ayahnya.

Sun mengutarakan semua hal menyangkut jual beli hasil tambak, dan orang yang mau membeli itu sudah ada di teras rumah. Ratih menampakkan wajah senang, Pras juga demikian.

Urusan ini memang sudah lama dilakukan Sun, dan acapkali pembeli datang untuk menemui sekaligus berkenalan dengan keluarga ini.

Kris pun dibawanya tanpa ragu untuk berkenalan di kamar itu. Pras menampakkan wajah senang, dan Kris memberi perhatian untuk kesembuhannya. Perbincangan mengalir sebagaimana arus air yang ada di sungai. Tenang.

Namun gemericik mulai terdengar oleh getaran hati Ratih yang mengalir tatkala ia mulai menjabat tangan Kris. Ratih tampak gugup. Entah apa yang dirasakan oleh gadis 20 tahun ini. Ia segera beranjak dan pergi dari kamar itu. Sun justru membiarkan.

Pras tidak mengindahkan apa yang dialami Ratih. Ia hanya meminta pada Sun agar tamunya ini ditemani. Kris juga menampakkan wajah tenang seolah tiada sesuatu yang terjadi, padahal adu pandang sesaat tadi dengan Ratih sudah cukup menjelaskan semua hal. Wajah gadis itu ada padanya.

Dan ia pun dipersilakan Sun keluar kamar, sekaligus untuk membawanya kembali ke teras rumah.

Mereka berbincang sebentar untuk urusan hasil tambak ini.
---------------
Sesaat sebelum Kris pergi meninggalkan kediaman keluarga Pras, Sun menyampaikan lugas.
"Ratih, anak kita mas. "

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun